androidvodic.com

Politik Identitas Tak Terlalu Berpengaruh Bagi Milenial - News

News – Politik identitas dalam pemilu dinilai tidak begitu berpengaruh bagi kalangan milenial. Dalam memilih calon baik pilpres, pileg, maupun pilkada, kaum milenial cenderung melihat popularitas kandidat. Demikian diungkapkan Rektor Universitas Megou Pak Tulangbawang, Lampung, Dr Triono, dan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FISIP Universitas Lampung Dr Robi Cahyadi dalam talkshow ‘Memilih Damai’ yang digelar Tribun Network menyambut Pemilu 2024. Talkshow ini mengusung tema 'Komporasi Alokasi Suara Pemilih Jawa dan Non Jawa dari Pemilu 1955 -2019’.

Talkshow dihelat Tribun Network di sembilan provinsi di Indonesia, termasuk di Lampung. Talkshow untuk Lampung merupakan series keempat yang menghadirkan empat narasumber. Selain Triono dan Robi Cahyadi dari Lampung, dua narasumber lain adalah Komisioner Bawaslu RI periode 2017-2022 Fritz Edwar Siregar dan Komisaris Utama PT Cyrus Nusantara Hasan Nasbi. Talkshow ini dipandu oleh Pemimpin Redaksi Tribunlampung.co.id Ridwan Hardiansyah dan host Tribun Network Paramitha Soemantri.

Triono menjelaskan politik identitas hampir selalu dimainkan dalam pemilu. Namun demikian, politik identitas tak berpengaruh besar bagi kalangan milenial, termasuk pada Pemilu 2024.

“Kalangan milenial lebih cenderung ke popularitas kandidat,” katanya.

Senada, Robi Cahyadi menjelaskan kontestasi pemilu kerap kali memunculkan isu politik identitas.

“Bahkan, akar politik identitas sudah dimulai sejak Pemilu 1955,” ujarnya.

Akan tetapi, Robi berpendapat kaum milenial termasuk mahasiswa tidak terlalu melihat politik identitas dalam memilih.

"Kaum mahasiswa tidak peduli calon itu berasal dari suku apa. Mereka lebih pada apa yang ditawarkan calon kepada mereka," ucapnya.

Merujuk data BPS tahun 2010, suku terbesar di Indonesia adalah suku Jawa di angka 40-42 persen. Data tersebut dibenarkan oleh Fritz Edwar Siregar yang menyebut, dari 180 juta penduduk Indonesia, etnis Jawa berada di angka 100 juta, sedangkan 80 juta non Jawa.

Menurut Fritz, politik identitas masih berpengaruh pada Pemilu 2024. Akan tetapi, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

"Politik identitas pasti masih digunakan dalam pemilu. Tapi apakah berdampak, ya tergantung daerah," katanya.

Sementara Hasan Nasbi mengungkapkan, secara realitas politik, 60 persen ada di Pulau Jawa.

“Banyak partai politik yang memiliki basis di Jawa, dan itu sejak tahun 1955,” ujarnya.

Terkait politik identitas, Hasan menilai pemilih akan lebih terpengaruh dengan lingkungan atau kelompok mereka.

"Menurut survei, sudah banyak nama-nama non Jawa yang populer di publik, seperti Erick Thohir," katanya.

Buka Diri

Triono berharap partai partai politik membuka diri dengan mengajukan calon-calon di luar Jawa untuk Pilpres 2024.

"Sehingga, pemimpin kita tidak melulu Jawa sentris," ucapnya.

Terkait calon presiden tanpa partai politik, Robi Cahyadi menyorot belum pernahnya calon presiden maju secara independen.

"Menurut survei publik, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai sangat minim," ujar Robi.

Tanya Jawab

Diskusi berlanjut ke segmen tanya jawab antara mahasiswa dan narasumber. Pertanyaan pertama dilontarkan Rizki, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila.

Ia bertanya, "Apa sih yang membuat presiden non Jawa sulit bersaing dalam Pilpres?”

Hal tersebut dijawab oleh Hasan Nasbi. Ia menilai kandidat di luar Jawa banyak yang tidak berani mencalonkan diri sebagai presiden.

"Sejauh ini, baru dua kali pemilu ya yang muncul calon di luar Jawa, dan ini belum bisa disimpulkan bahwa presiden sulit di luar Jawa," ujar Hasan. "Kita perlu mencoba 20-30 kali pencalonan baru bisa dijadikan sebuah teori," imbuhnya.

Pertanyaan berikutnya datang dari Hendra, mahasiswa FISIP Unila lainnya.

"Di Amerika Serikat, Obama berhasil mendobrak white supermacy sebagai presiden, Kira-kira bagaimana peluang di Indonesia untuk itu terjadi?" tanyanya.

Pertanyaan tersebut direspons oleh Fritz Edward. Ia memprediksi hal itu mungkin saja terjadi di Indonesia. Asalkan, menurut dia, para pemimpin di Indonesia memiliki keberanian untuk melakukan perubahan.

Pertanyaan selanjutnya dilontarkan oleh Dito, mahasiswa FISIP Unila. "Strategi seperti apa yang dibutuhkan oleh presiden di luar Jawa untuk bertarung di Pemilu 2024 nanti?"

Hal itu dijawab oleh Triono. Ia menyebut ada banyak faktor. Namun, pola penggunaan media sosial dan kelompok-kelompok komunitas harus dirawat.

“Jadi, lebih pada pendekatan kepada masyarakat. Faktor media sosial memberi sumbangsih besar dalam pemilu," katanya.

Selanjutnya pertanyaan dari Abethia Cahrani mahasiswa FKIP Unila. Ia bertanya, "Syarat apa yang dibutuhkan untuk mendobrak tren presiden dari Jawa?"

Robi Cahyadi menjawab, sudah seharusnya partai politik memunculkan kandidat di luar Jawa.

"Analoginya ibarat makanan. Kalau sajiannya hanya itu-itu saja, maka pilihan juga terbatas,” jelas Robi.

“Harapannya, semakin banyak kandidat, maka pilihan juga semakin berwarna. Merespons pertanyaan tadi, ya kuncinya ada pada partai politik," sambungnya.

Ada juga pertanyaan dari Rian Ramadhan, mahasiswa lainnya. "Mengingat Indonesia sudah memasuki industri 5.0, yaitu digitalisasi, di mana media sosial sangat berpengaruh, pertanyaannya, bagaimana mengubah persepsi masyarakat terkait politik identitas yang mayoritas presiden berasal dari Jawa?”

Merespons hal itu, Triono menjelaskan pola pendidikan politik sangat penting agar masyarakat tidak pragmati.

"Melalui pendidikan politik yang masif dan tidak hanya dilakukan menjelang pemilu," ujarnya.

Solusi

Masuk segmen terakhir membahas tentang solusi agar pemilu berjalan lancar. Robi Cahyadi menyampaikan, KPU dan Bawaslu sebaiknya lebih mempublikasikan mengenai rekam jejak seluruh kandidat.

"Seluruh kandidat harus dipaparkan perjalanannya. Apakah dia pernah jadi napi atau pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, ini disampaikan kepada masyarakat," jelasnya.

Selain itu, Robi menilai partai politik mesti lebih selektif dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden.

"Caranya bagaimana? Partai lebih men-tracking calon kepala daerah terbaik, lalu direkomendasi menjadi calon presiden. Jangan dimunculkan calon-calon yang hanya memiliki finansial. Tapi betul-betul dicari yang terbaik," jelasnya.

Sebagi penutup, Pemimpin Redaksi Tribunlampung.co.id Ridwan Hardiansyah berharap diskusi ini menjadikan masyarakat lebih cerdas dalam menentukan pilihan.

Terkini Lainnya

  • Politik identitas dalam pemilu dinilai tidak begitu berpengaruh bagi kalangan milenial, mereka cenderung melihat popularitas kandidat.

  • UI Berikan Edukasi hingga Layanan Kesehatan Gratis dalam The 1st UI Health Innovation Expo 2024

  • BERITA REKOMENDASI

  • BERITA TERKINI

Tautan Sahabat