androidvodic.com

Ekonom BNI Ungkap Alasan Mengapa Rupiah Sulit Menguat Signifikan - News

Laporan Wartawan News, Ria Anatasia

News, YOGYAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderung stabil pada level Rp 14.160 per dollar AS, meski mengalami pelemahan sebanyak 0,18 persen pada penutupan pada Jumat (22/3/2019) lalu.

Sebelumnya rupiah juga melemah di level Rp 14.140 per dollar AS pada perdagangan Kamis (21/3/2019).

Sementara dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah menguat tipis 0,97 persen. Angka ini dinilai belum naik signifikan.

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Ryan Kiryanto mengatakan, penguatan rupiah salah satunya didorong oleh aliran modal asing (capital inflow) yang masuk ke pasar domestik.

Namun, aliran tersebut tidak cukup deras bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.

Akibatnya, rupiah juga sulit menguat signifikan.

"Makanya rupiah sulit (naik) signifikan. Kalau dilihat FDI (investasi asing langsung) presentase kita naiknya 2,0- 2,1 persen terhadap PDB (produk domestik bruto), masih jauh dari negara lain," kata Ryan Kiryanto dalam pelatihan wartawan di JW Marriott Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019).

Ryan Kiryanto memaparkan, berdasarkan data dari CEIC dan World Development Indicators (WDI), aliran modal asing yang masuk ke Indonesia selama tahun 2018 sebesar 2,1 persen terhadap PDB, naik tipis 0,1 persen dari tahun sebelumnya.

Sementara di Thailand aliran modal asing yang masuk ke negaranya naik cukup banyak dari 1,8 persen menjadi 2,5 persen dari PDB.

Apalagi di Vietnam aliran modal asing ke negaranya mencapai 6,5 persen dari PDB.

"Kita harusnya bisa lebih besar, kita sudah investment grade, harusnya lebih besar dari ini," ujarnya.

Selain itu, Ryan Kiryanto menilai permasalahan lain terkait masih tingginya angka current account defisit (CAD) atau defisit transaksi berjalan.

CAD Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai 31,1 miliar dolar AS atau 2,98 persen terhadap PDB.

"Gimana menjaga CAD tidak melebar, (angka) ini tidak baik, mohon maaf harus saya bilang jelek," ucapnya.

"Dibilang kita (perekonomian) sedang tumbuh, betul tidak apa-apa, tapi impornya harus yang menunjang ekonomi atau investasi. Kalau buat barang-barang konsumsi tidak boleh, tas mewah dan lainnya malah yang banyak itu yang bahaya," kata Ryan Kiryanto.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat