androidvodic.com

Mendorong Usaha Berkelanjutan Guna Mencapai Ekonomi Rendah Karbon - News

TRIBUNEWS.COM - Desember 2022 mungkin akan dikenang sebagai salah satu bulan penting dalam usaha mendorong transisi energi. Kala itu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan aturan Carbon Border Adjustment Mechanism (CABM) yang secara de facto meningkatkan tarif masuk untuk produk yang menghasilkan emisi tinggi seperti besi, baja, aluminium, dan lainnya.

Parlemen Uni Eropa beralasan barang-barang industri tersebut menyumbang total emisi global sebesar 13 persen sehingga perlu upaya keras untuk memaksa produsen agar lebih inovatif dalam rangka mengurangi emisi di proses produksi mereka. 

Beleid tersebut mensyaratkan pembeli yang berbasis di Uni Eropa membeli kredit karbon tambahan untuk menyeimbangkan emisi karbon produk industrial. 

Masih di bulan yang sama, Uni Eropa juga mengeluarkan aturan yang melarang penjualan produk utama maupun turunan yang dihasilkan oleh industri penyebab deforestasi. Komoditas seperti kelapa sawit, kayu, kopi, karet serta produk olahan hasil hutan seperti kertas, cokelat, hingga furnitur terancam tidak bisa masuk Uni Eropa. 

Dua aturan tersebut tentu berdampak negatif bagi negara eksportir seperti Indonesia, Malaysia, dan Australia yang berpotensi kehilangan pangsa pasar ekspor mereka. 

Jika ditilik lebih lanjut, negara seperti AS, Kanada, Jepang juga sedang menimbang-nimbang untuk mengeluarkan aturan serupa. Bahkan Tiongkok juga memperketat aturan impor untuk produk yang dianggap menyebabkan deforestasi.

Transformasi usaha berkelanjutan

Melihat secara holistik, tren kebijakan dunia akan semakin pro industri rendah karbon. Ketimbang terus berkeluh-kesah, lebih baik fokus mengupayakan perubahan struktur industri menuju ekonomi rendah karbon. Beradaptasi dan membuka peluang usaha baru.

Bisa dibayangkan jika pihak industri bisa membuat inovasi produksi sehingga emisi yang dihasilkan tidak setinggi saat ini. Tentunya, produk yang lebih rendah karbon akan memiliki daya tarik lebih tinggi dan memberikan daya tawar lebih baik bagi produsen.

Sebuah pelajaran penting terkait keberlanjutan usaha bisa dipetik dari sektor akuakultur. Beberapa eksportir seafood menggunakan rumput laut sebagai bahan pakan yang berkelanjutan dan memiliki dampak minimal terhadap ekosistem. Dengan demikian, produk yang dihasilkan bisa diterima di banyak negara dan berdampak positif bagi usaha mereka.

Salah satu eksportir udang terbesar Indonesia, PT Bumi Menara Internusa (BMI), beberapa tahun terakhir telah menerapkan praktik berkelanjutan. Dalam rangka memperkuat aspek keberlanjutan, PT HSBC Indonesia, melalui kemitraan dengan Asian Development Bank, menyalurkan pembiayaan berkelanjutan bagi BMI.  

PT Krakatau Steel, produsen baja terbesar di Indonesia, juga telah membuat peta jalan untuk menurunkan emisi dengan tiga strategi utama: penggunaan electric arc furnace (EAF) untuk mencairkan bijih baja, membangun 60-80 megawatt (MW) panel surya apung, serta mempelajari penggunaan hidrogen dalam produksi baja.

Energi terbarukan

Transformasi usaha seperti yang dilakukan di sektor akuakultur ataupun Krakatau Steel akan menjadi berlipat ganda saat listrik yang digunakan dalam proses produksi menggunakan sumber energi terbarukan. 

Saat pihak produsen beramai-ramai meminta sumber energi ‘hijau’, para investor akan menggelontorkan dana besar untuk melakukan transformasi besar-besaran di bidang energi baru terbarukan (EBT), salah satunya di sektor geothermal.   

Ingat, negeri ini memiliki potensi geothermal yang teramat besar. Menurut catatan terbaru Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi tenaga panas bumi di Indonesia sebesar 23,7 gigawatt (GW), nomor dua terbesar di dunia setelah AS. Baru 8,9 persen atau 2.130,6 MW yang telah dimanfaatkan. Artinya, ruang pengembangan masih terbuka lebar.

Anak usaha Pertamina, Pertamina Geothermal Energi (PGE), baru-baru ini melakukan IPO guna memaksimalkan potensi tersebut. PGE mengalokasikan 85 persen dari hasil IPO sebesar Rp 9,05 triliun antara lain untuk menambah kapasitas terpasang energi panas bumi miliknya. 

Dalam lima tahun ke depan, PGE akan menggelontorkan investasi sebesar USD 1,6 miliar, setara Rp 24 triliun (estimasi kurs Rp 15.000 per dolar AS),  untuk menaikan kapasitas terpasang energi panas bumi yang dioperasikan sendiri hingga dua kali lipat dari 672 MW saat ini menjadi 1.272 MW.

Tak hanya itu, pemerintah Indonesia dan Singapura baru-baru ini menandatangi perjanjian kerja sama pengembangan industri panel surya dalam negeri. Melibatkan pihak swasta seperti Adaro Clean Energy Indonesia, Medco Power Indonesia, dan Energi Baru TBS, pemerintah kedua negara berambisi melakukan pengembangan EBT, rantai pasok panel surya, dan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (SPEB) di Indonesia. 

Tentu kedua hal ini saja belum cukup. Masih perlu dipikirkan cara mengatasi daya tidak stabil (intermittent) dari tenaga surya, peningkatan teknologi power grid Perusahaan Listrik Negara (PLN), pembiayaan transisi energi dan usaha berkelanjutan, dan seterusnya.    

Tanpa bermaksud menafikan kompleksitas transisi energi dan transformasi bisnis menjadi usaha berkelanjutan, tren global saat ini memaksa dunia usaha, pengambil kebijakan, hingga konsumen untuk berubah.  

Sebagai bank global dengan komitmen tinggi terhadap aspek keberlanjutan, HSBC Indonesia siap memfasilitasi dunia usaha dalam upaya-upaya melakukan transformasi menuju bisnis berkelanjutan. HSBC dapat membantu korporasi Indonesia mengadopsi praktik terbaik (best practice) sehingga dapat direalisasikan di dalam negeri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat