androidvodic.com

Kemendag Beberkan Kendala Penetapan Larangan Jual Barang Impor di E-commerce - News

Laporan Wartawan News, Ismoyo

News, JAKARTA - Kementerian Perdagangan tengah menyiapkan aturan baru larangan e-commerce dan social commerce menjual barang impor dengan harga jual di bawah 100 dollar AS atau di bawah Rp1,5 juta.

Caranya dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Dengan demikian, produk impor yang boleh dijual di platform marketplace hanya yang seharga di atas 100 dollar AS.

Namun, revisi aturan tersebut terganjal sejumlah hambatan. Utamanya yakni masih berjalannya audiensi antara pihak terkait, termasuk para e-commerce dan Social Commerce seperti Shopee hingga TikTok.

"Yang namanya pemerintah mendengarkan masukkan. Pak Menteri terima Shopee (melakukan audiensi) sebelum diputuskan," Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto saat ditemui di kantornya, Jumat malam (11/8/2023).

"Beliau masih berlanjut audiensi. Ingin jangan sampai membuat keputusan tapi tidak aplikatif," sambungnya.

Poin penting yang dibahas Kementerian Perdagangan dengan para e-commerce ini terkait nilai atau besaran harga yang dimaksud.

Suhanto mengungkapkan, sejumlah Kementerian lain juga turut membahas revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020.

"Ini masih dibahas lagi oleh Kementerian dan Lembaga, terutama Perindustrian dan Keuangan terkait pajak masuk," papar Suhanto.

"Respon e-commerce ini soal yang pembatasan Rp1,5 juta itu. Kita kan mendengar masukkan dari pelaku usaha dan lainnya," pungkasnya.

Baca juga: E-commerce Akan Dilarang Jual Barang Impor di Bawah Rp 1,5 Juta, Asosiasi: Kami Nurut

Seperti diberitakan sebelumnya, Permendag Nomor 50 Tahun 2020 yang akan direvisi mendapat penolakan dari kalangan pengusaha di Tanah Air.

Alasannya, regulasi tersebut melarang importir menjual barang dengan nilai kurang dari 100 dollar AS atau setara Rp 1,5 juta per unit di marketplace.

Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono, menilai kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan.

"Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel dan atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal," ungkap Sonny dikutip dari Warta Kota.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat