androidvodic.com

IESR: Industri Baja Bertanggung Jawab 4,9 Persen dari Total Emisi Industri - News

Laporan Wartawan News, Dennis Destryawan

News, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.

"Untuk itu, IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan," ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Kamis (21/3/2024).

Fabby menyatakan bahwa upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace.

"Bahan bakarnya masih didominasi dengan penggunaan batubara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur)," terangnya.

Artinya, semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.

“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja," kata Fabby.

Senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan, dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.

“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon," kata Farid.

Baca juga: Pengamat Energi: Kebijakan Uji Emisi Saja Tidak Akan Cukup Atasi Kualitas Udara

Menurutnya, diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi.

Studi IESR memberikan rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia:

Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat.

Baca juga: IESR: Energi Baru Bikin Indonesia Masuk Jebakan Infrastruktur Energi Fosil

Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku serta limbah yang dihasilkan.

Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.

Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Fausan Arif Darmadi,menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah.

Baca juga: Toyota Kembali Produksi Model Diesel di Jepang Usai Tersandung Kasus Sertifikasi Emisi

Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.

“Komitmen dari sektor industri menjadi hal yang paling penting dalam proses dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan,” papar Fausan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat