Seperti Angkot Pelat Hitam, Fenomena Grey Charter Rugikan Industri Pesawat Carter - News
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA – Fenomena grey charter menjadi keprihatinan mendalam para pelaku industri penerbangan tak berjadwal atau pesawat carter di Indonesia. Fenomena ini muncul sejak beberapa tahun terakhir.
Selain faktor jaminan keselamatan penumpang, potensi pendapatan negara dari sejumlah sektor pajak juga potensi menguap.
Keprihatinan para pelaku industri carter itu diantara yang paling mengemuka dalam penyelenggaraan Asian Sky Forum: Business Aviation 2024 yang berlangsung selama dua hari di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu dan Kamis, 26-27 Juni 2024.
”Memang belum ada angka statistik persisnya, tapi melihat realitas di lapangan setidaknya 2-3 movement (penerbangan carter di Indonesia) itu grey,” ungkap Chief Marketing Officer Jetset Harilal Mohanan.
Baca juga: Rupiah Terus Merosot, Garuda Indonesia Minta Penyesuaian Tarif Batas Atas Tiket Pesawat
Grey Charter adalah penerbangan yang dilakukan pesawat yang teregister sebagai pesawat pribadi, namun disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang.
Sederhananya, pesawat ‘plat hitam’ namun beroperasi sebagai pesawat ‘plat kuning’. Karena tidak teregister secara resmi sebagai pesawat carter, dampak yang sudah pasti adalah minimnya atau bahkan ketiadaan jaminan keselamatan bagi penumpang yang diangkut, termasuk ketiadaan asuransi.
Sebagian besar pesawat pribadi itu pun teregister di luar negeri dengan pilot asing pula.
”Di sini (Indonesia), kita belum ada regulasi yang solid terkait situasi ini. Terus terang, ini meresahkan secara jangka pendek maupun panjang,” imbuhnya.
Pasar pelaku industri yang sudah teregister secara resmi di Kementerian Perhubungan ini otomatis tergerus oleh aktivitas mereka.
Sedangkan secara jangka panjang, image industri carter potensi tercederai ketika semisal ada kecelakaan yang melibatkan pesawat grey charter. Kejadian jatuhnya pesawat di Malaysia, pada Agustus 2023, lalu yang menewaskan sejumlah orang sebagai contohnya.
”Kami berharap regulator (pemerintah) punya konsen terhadap hal ini,” imbuh Harilal.
Chief Operations Officer Jetset Dhede Damanik menambahkan perhatian pemerintah ini penting karena potensi pengembangan industri penerbangan non-airline di Indonsia, dalam hal ini pesawat carter, cukup besar.
Di Asia, Indonesia saat ini setidaknya sudah tercatat memiliki penerbangan carter tertinggi ketiga setelah Singapura dan Jepang.
”Kita di Indonesia itu rata-rata sudah 200 movement take off-landing per bulan, ini sudah sekitar setengahnya dari Singapura,” ungkapnya.
Dengan angka yang tinggi itu, lanjut dia, maka sudah semestinya ada regulasi yang lebih baik terkait fenomena grey charter di Indonesia.
Hal ini menyangkut potensi pendapatan negara pula. ”Kita operator yang resmi teregister di (Kementerian) Perhubungan ini kan bayar pajak, semua invoice kena pajak, kalau mereka kan tidak wajib pajak,” imbuh Dhede.
Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur Premiair Tony Hadi juga berharap ada kesadaran pula di internal ekosistem industri penerbangan non-airline untuk bersama-sama menekan perkembangan fenomena grey charter yang terus marak hingga saat ini.
”Yang kita sesalkan itu, jangan sampai nanti semisal muncul satu persoalan, semua akan jadi hancur, jadi ayo lah kita lurus-lurus saja,” ingat Tony.
Terkini Lainnya
Selain faktor jaminan keselamatan penumpang, potensi pendapatan negara dari sejumlah sektor pajak juga potensi menguap.
Kunjungan Strategis AFPI ke London: Perkuat Komitmen Melawan Pinjol dan Buka Peluang Investasi
BERITA TERKINI
berita POPULER
Program Makan Bergizi Gratis Jadi Rezeki Nomplok Pengusaha Jasa Boga, Seberapa Siap Mereka?
Pusat Data Nasional II Kominfo Akan Dibangun di KEK Nongsa Batam
Boeing Pecat Karyawan yang Keluhkan Produksi Tak Aman di Boeing 787 Dreamliner
Bahlil Bilang Menu Program Makan Bergizi Gratis Akan Beda di Setiap Wilayah
Tidak Cukup Satu, Penurunan Emisi di Sektor Transportasi Perlu Banyak Solusi