androidvodic.com

Rekor Suhu Panas Tahun 2023 Isyaratkan Darurat Iklim - News

Disadari atau tidak, Oktober tahun ini adalah bulan terpanas dalam sejarah pencatatan cuaca di seluruh dunia. Menurut laboratorium iklim Uni Eropa Copernicus, suhu permukaan rata-rata global tahun 2023 ini berkisar 1,7 derajat lebih tinggi di atas suhu rata-rata bulan Oktober sebelum dimulainya era industrialisasi antara tahun 1850 hingga 1900.

Setiap bulan antara Juni dan Oktober, Layanan Perubahan Iklim Copernicus, C3S, melaporkan rekor demi rekor kenaikan suhu udara. Bisa dipastikan, bulan November dan Desember 2023 akan kembali memecahkan rekor temperatur, tidak hanya di udara, tetapi juga suhu permukaan laut.

"Kami dapat mengatakan dengan kepastian yang tinggi bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah dicatat, yang saat ini setinggi 1,43 derajat Celcius di atas rata-rata masa praindustri,” kata Samantha Burgess, wakil direktur C3S.

"Mengacu kepada data dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), tahun 2023 mencatatkan bulan Oktober terpanas sejak lebih dari 125.000 tahun,” tulis Burgess di dalam akunnya di platform internet Linkedin. Berbeda dengan C3S, dalam prediksinya IPCC juga menggunakan hasil pengukuran inti es, lingkaran pohon dan endapan karang.

Emisi gas rumah kaca mencapai rekor tertinggi

Bagi direktur Copernicus, Carlo Buontempo, "catatan suhu tahun ini telah membunyikan alarm bahaya. "Solusinya adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dengan sangat cepat. Kita harus memanfaatkan pengetahuan yang ada dengan lebih baik, dan menyesuaikan kebijakan pemerintah, serta kebiasaan dan perilaku kita sendiri, untuk tujuan ini,” ujarnya saat diwawancara DW.

Salah satu penyebab terjadinya tahun panas pada 2023 ini adalah tingginya emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), rekor suhu tertinggi di seluruh dunia terakhir dicatat pada tahun 2022. Saat itu, kadar emisi CO2 di atmosfer Bumi tercatat sudah mencapai 50 persen di atas tingkat emisi praindustri. Tahun ini, angkanya diyakini akan terus meningkat.

Ironisnya, analisa lembaga konsultan data AS, MSCI, mencatat adanya perlambatan dalam proses pengurangan emisi pada hampir semua perusahaan multinasional di dunia. Lambannya dekarbonisasi dikhawatirkan bakal menghasilkan polusi emisi lebih besar dari yang diizinkan untuk mencapai target 1,5 derajat.

Menurut laporan terbaru Program Lingkungan PBB, UNEP, 20 negara penghasil minyak terpenting, termasuk Amerika Serikat, Cina, Rusia dan Uni Emirat Arab berencana untuk menambah produksi minyak, gas dan batu bara hingga tahun 2030. Jika demikian, jumlah pencemaran emisi CO2 di Bumi diprediksi akan mempercepat kenaikan suhu rata-rata sebesar dua derajat Celcius yang menjadi batas kiamat iklim.

Peran kecil fenomena panas "El Niño”

Rekor suhu udara pada tahun 2023 tercatat seiring kembalinya musim "El Niño”. Fenomena cuaca empat tahunan ini menyebabkan pemanasan permukaan air di bagian timur Samudera Pasifik. "Namun rekor suhu tahun ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan kemunculan El Niño saja", kata direktur Copernicus Buontempo.

Hanya sebagian kecil data kenaikan suhu yang berasal dari wilayah "El Niño”. Sebagian besarnya berasal dari wilayah yang berbeda-beda. "Apa yang terjadi tahun ini di Kanada, AS, atau Eropa tidak ada hubungannya dengan "El Niño," melainkan berkaitan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia," kata Sejak bulan Juni, , merujuk pada maraknya kekeringan, gelombang panas dan kebakaran hutan di belahan Bumi utara.

Menurut laporan Copernicus, saat ini laju pemanasan global mencapai rata-rata 1,43 derajat Celcius dibandingkan masa praindustri. Buontempo mengatakan, batas kenaikan sebesar 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Perjanjian Iklim Paris 2015 baru akan terlampaui pada tahun 2030an. Meski begitu, ilmuwan meragukan target tersebut bisa ditepati. "Pertanyaannya sekarang lebih berkisar pada bagaimana kita bisa kembali ke bawah angka ini setelah melampauinya nanti.”

Dengan rata-rata pemanasan global lebih dari 1,5 derajat, risiko kemunculam bencana ekstrem juga meningkat secara drastis. Diperkirakan, angka kematian akibat suhu panas akan meningkat sebesar 370 persen pada tahun 2050, itu pun jika peningkatan rata-rata suhu global tetap di bawah dua derajat Celcius, tulis sekelompok ilmuwan internasional di jurnal ilmiah "The Lancet”.

Buontempo sebabnya mengimbau agar solusi iklim dikerjakan secara bersama-sama di berbagai level pemerintahan, hingga ke tingkat desa. "Karena bahkan jika kita berhasil menurunkan emisi hingga ke titik nol, kita akan tetap menghadapi iklim yang telah berubah pada dekade ke depan, yakni lebih banyak kekeringan, gelombang panas atau bencana banjir.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat