androidvodic.com

Apa Ambisi dan Target Iklim India di COP28 Dubai? - News

Konferensi iklim COP28 di Dubai sedang menyusun Global Stocktake (GST) yang pertama. GST bertujuan untuk menilai posisi dunia delapan tahun setelah penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 2015 terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dan cara mengatasi kesenjangan dalam aksi iklim. Perjanjian Paris bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.

Sebuah laporan dari pemerintah India yang menguraikan pendekatannya terhadap GST menyerukan negara-negara maju untuk menanggung lebih banyak beban dalam membantu negara-negara miskin memenuhi dan membiayai tujuan-tujuan iklim yang telah disepakati.

Laporan yang diserahkan menjelang COP28 kepada badan perubahan iklim PBB, UNFCC, menekankan bahwa "komunitas rentan yang secara historis berkontribusi paling sedikit terhadap perubahan iklim saat ini adalah kelompok yang paling terkena dampaknya.”

"Pembagian beban mitigasi yang setara antara negara-negara maju dan berkembang adalah tidak adil dan tidak adil jika tanggung jawab masing-masing terhadap konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperhitungkan,” kata laporan itu.

Dalam mengembangkan aksi iklim di masa depan, India menekankan bahwa GST harus "memobilisasi dukungan yang diperlukan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang” untuk "meningkatkan ambisi aksi iklim.”

"Negara-negara maju harus memenuhi apa yang sudah menjadi komitmen mereka dan harus memastikan tidak ada beban yang tidak semestinya yang terus membebani negara-negara berkembang,” kata laporan itu.

India ingin pertahankan batubara

Berdasarkan Perjanjian Paris, para penandatangan memberikan kontribusi yang ditentukan secara nasional, yang disebut NDC, untuk mencapai tujuan pengurangan emisi. Salah satu butir NDC India adalah janji untuk memiliki 50% dari "kapasitas terpasang tenaga listrik kumulatif” yang berasal dari bahan bakar non-fosil pada tahun 2030. NDC India juga menyerukan mobilisasi pendanaan yang lebih baik dari negara-negara maju untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi.

Promit Mookherjee, peneliti yang berfokus pada transisi energi karbon di lembaga pemikir Observer Research Foundation (ORF) di New Delhi, mengatakan kepada DW, India berada "di jalur yang tepat” untuk memenuhi NDC-nya.

Namun, meskipun berjanji untuk memperluas penggunaan bahan bakar non-fosil dan energi terbarukan, India tetap teguh pada keputusannya untuk tidak menghentikan penggunaan listrik berbahan bakar batu bara dalam waktu dekat.

Menjelang COP28, Menteri Luar Negeri India Vinay Kwatra pada konferensi pers di New Delhi mengatakan, India belum bisa meninggalkan batu bara karena alasan ekonomi dan pembangunan, demikian yang dilaporkan surat kabar Indian Express.

India juga tidak bergabung dengan 118 negara lain di COP28 yang menandatangani "Ikrar Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi Global,” yang bertujuan untuk melipatgandakan kapasitas pembangkit energi terbarukan global menjadi 11.000 GW pada tahun 2030.

"Negara-negara berkembang bergantung pada batubara untuk pembangunan,” kata Mookherjee. "Biaya teknologi untuk transisi energi sangatlah tinggi, sehingga penghapusan batu bara secara bertahap akan menyebabkan kemiskinan energi. Dekarbonisasi harus dilakukan secara adil,” tambahnya.

Pada paruh pertama tahun 2023, India menghasilkan 500 juta ton CO2 dari pembakaran batu bara berkualitas rendah, meningkat sebesar 4% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022. Menurut data dari lembaga think tank Ember, India "berada sudah berada di jalur yang tepat" untuk mencatat rekor emisi batu bara tahunan.

Secara absolut, India adalah penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia, meskipun secara per kapita, emisi negara Asia Selatan ini jauh lebih rendah dibandingkan AS atau Cina.

Serukan 'keadilan' iklim dalam hal kerugian dan kerusakan

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat