androidvodic.com

KPK Akan Periksa Enam Saksi Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan Kapal di KKP-Bea Cukai - News

News, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa enam saksi kasus korupsi pengadaan kapal di dua instansi pemerintah, yakni Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Enam saksi akan diperiksa untuk tersangka IPR (Istadi Prahastanto)," ujar Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati kepada pewarta, Rabu (7/8/2019).

Enam saksi itu, yakni dua pelaksana pemeriksa di Direktorat Penindakan dan Penyidikan (P2) Subid Patroli Kapal DJBC masing-masing Dodie Meldina Hermawan dan Dede Rismawan, Kasubdit Advokasi di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Selanjutnya, Kasi Advokasi Instansi Pemerintah Daerah LKPP Fajar Adi Hemawan, staf Sarana Operasi I Subdit Sarana Operasi Direktorat P2 DJBC tahun 2013 Dodi Pribadi, dan Kabag Keuangan dan TU PP INSW (Pengelolaan Portal Indonesia Nasional Single Windows) Deden.

Baca: Letjen Doni Kunjungi Gua Jejak Tsunami Purba Aceh

Baca: Politisi Golkar Sebut Ijtima Ulama IV Tak Pengaruhi Konstelasi Koalisi

Keempat orang itu ialah Direktur Utama PT Daya Radar Utama Amir Gunawan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bea dan Cukai Istadi Prahastanto, Ketua Panitia Lelang Heru Sumarwanto, dan PPK KKP Aris Rustandi.

Istadi, Amir, dan Heru diduga melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan hingga pelaksanaan pekerjaan pengadaan 16 kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat/FCB) di Ditjen Bea dan Cukai.

Salah satunya, mengarahkan panitia lelang agar memilih PT DRU menggarap proyek tahun jamak 2013-2015 senilai Rp 1,12 triliun tersebut.

Namun setelah diuji coba, kecepatan dan sertifikasi dual-class 16 kapal patroli itu tidak sesuai persyaratan kontrak.

Meski tidak sesuai, pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti pembayaran.

Selama proses pengadaan, Istadi dan kawan-kawan menerima EUR7.000 sebagai sole agent mesin yang dipakai 16 kapal patroli cepat tersebut. Dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 117.736.941.127.

Kemudian pada perkara berikutnya, Amir dan Aris diduga melakukan cawe-cawe dalam penandatangan kontrak kerja pengadaan 4 unit kapal 60 meter untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan (SKIPI) pada Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP. Nilai kontrak proyek ini 58.307.789 dolar AS.

Aris diketahui membayar seluruh termin pembayaran proyek pengadaan empat kapal SKIPI kepada PT DRU senilai 58.307.788 dolar AS atau setara Rp 744.089.959.059. Padahal, biaya pembangunan empat kapal itu hanya Rp 446.267.570.055.

KPK mensinyalir terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum lain dalam proses pengadaan. Di antaranya, belum adanya engineering estimate, persekongkolan dalam tender, dokumen yang tidak benar, dan sejumlah PMH lainnya.

Empat kapal SKIPI itu juga diduga tidak sesuai spesifikasi yang diisyaratkan dan dibutuhkan, misalnya kecepatan tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, markup volume plat baja, dan aluminium serta kekurangan perlengkapan kapal lain. Kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp 61.540.127.782.

Pada perkara pengadaan kapal Ditjen Bea dan Cukai, Amir, Istadi, dan Heru melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan, pada perkara korupsi kapal di KKP, Amir dan Aris disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat