Budidaya Bawang Merah TSS Untungkan Petani, Teknologi Soyblok Sider Jadi Solusi - News
News, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong petani bawang merah untuk beralih menggunakan biji (True Shallot Seed/TSS) dibanding umbi sebagai benih.
Budidaya TSS dinilai lebih efisien dan menguntungkan bagi para petani.
Demikian intisari diskusi virtual Gedor Horti in Action bertajuk ‘Raup Untung Dengan Budidaya Bawang Merah Biji/TSS’, Jumat (26/6/2020).
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto mengatakan selain faktor harga yang terjangkau, produktivitasnya juga lebih bagus ketimbang umbi.
“Memang butuh upaya ekstra dibanding menggunakan benih umbi. Waktunya relatif lebih panjang kurang lebih 1,5-2 bulan, lebih panjang dari budidaya menggunakan umbi,” jelas dia.
Sekalipun demikian, dia mengatakan bahwa satu keunggulan lainnya penggunaan benih TSS ini produksinya lebih tinggi dibanding menggunakan umbi.
Prihasto lantas mencontohkan budidaya bawang merah benih TSS di Kabupaten Malaka.
Di sana, kata dia, belum pernah ada petani yang menanam bawang merah. Mereka kemudian mencoba mengimplementasikan benih TSS. Cara penanamannya masih sangat sederhana sekali, jadi benihnya hanya ditabur tanpa disemaikan dulu.
“Karena tanahnya subur, hanya menggunakan pupuk kandang sekitar 7-10 ton itu bisa menghasilkan sekitar 20 ton per hektar dan hasilnya besar-besar. Sampe saya bawa sampelnya ke kantor,” beber Anton.
“Kurang lebih per kilo nya berisi 18-20 umbi. Memang dia menggunakan kalo gak salah varietasnya tuk tuk. Saking besarnya jadi mirip bawang bombay merah,” lanjutnya.
Dari kisah sukses tersebut, lanjut Anton, petani bisa mengambil pelajaran bahwa sekalipun waktunya lebih lama, tapi produksinya cukup tinggi. Dari segi biaya, jauh lebih rendah, memang semua ada plus minusnya.
Teknologi Soyblok Sider Bisa Jadi Solusi
Anton menyadari bahwa salah satu tantangan dari pengembangan TSS adalah mendorong para petani untuk membuat penangkaran. Menurutnya, tak sedikit petani ingin lebih cara instans dengan menggunakan umbi.
“Solusinya, ketika petani memang tak mau membuat penangkaran (bibit), ya harus memperbanyak penangkar-penangkar di tiap daerah. Mereka nantinya yang meng-cover kebutuhan petani,” beber alumnus Universitas Brawijaya tersebut.
Terkini Lainnya
Prihasto Setyanto mengatakan selain faktor harga yang terjangkau, produktivitasnya juga lebih bagus ketimbang umbi.
BERITA TERKINI
berita POPULER
Eks Wakapolri Buka Suara, Pegi Setiawan Harus Dapat Rp 100 Miliar Jika Korban Salah Tangkap Polisi
Struktur Pengurus DPP PDIP Terbaru, Adian Napitupulu Jadi Wakil Sekjen
7 Fakta Sidang Praperadilan Pegi Tersangka Kasus Vina Cirebon, Putusan Bakal Dibacakan Senin Depan
Doa Awal Tahun Baru Islam 1 Muharram 1446 H, Ini Keutamaan Bulan Muharram
Bawaslu Respons Putusan DKPP Pecat Ketua KPU Hasyim Asy'ari: Kami Hormati dan Awasi