androidvodic.com

Wamen LHK: Negara Maju Boleh Tekan Indonesia Pelihara Hutan, Tapi Harus Ada Timbal Balik - News

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

News, JAKARTA – Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengungkap pentingnya memelihara hutan sebagai paru-paru dunia.

Ia pun menyinggung soal negara-negara maju yang mendorong Indonesia untuk memelihara hutan.

Menurut dia, hal tersebut merupakan hal yang wajar.

Namun, tentunya harus ada timbal balik yang diberikan negara maju sebagaimana yang tertuang dalam Paris Agreement.

“Sah-sah saja negara maju mendorong kita untuk memelihara hutan kita. Tetapi kan harusnya kita ingin ada timbal balik. Dalam Paris Agreement salah satu yang didorong ada insentif, khususnya di pasal 5 adalah result base payment,” kata Wamen LHK kepada News di kantor LHK, Kamis (28/10/2021).

Wamen LHK mengatakan ada gerakan global yang disebut Nature Based Solutions, dimana hutan tropis ini menjadi satu instrumen penting dalam pengendalian perubahan iklim.

Baca juga: 2 Tahun Jabat Wamen LHK, Komunikasi Alue Dohong Dengan Menteri Siti Nurbaya Harmonis 

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong (kanan) saat melayani wawancara dengan News Vice Director Tribun Network/Editor in Chief Warta Kota Domu D. Ambarita
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong (kanan) saat melayani wawancara dengan News Vice Director Tribun Network/Editor in Chief Warta Kota Domu D. Ambarita (News/Irwan Rismawan)

Hal tersebut dikarenakan hutan mengubah karbon dioksida dan menyimpannya di batang , daun, dan akar pohon, sehingga penting.

Tentu saja fungsi hutan tersebut sangan penting dalam menjaga stabilitas iklim global.

Baca juga: 2 Tahun Jabat Wamen LHK, Komunikasi Alue Dohong Dengan Menteri Siti Nurbaya Harmonis

Akan tetapi yang harus diingat menurutnya, berdasarkan data global sumbangan emisi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan itu sekitar 30 persen dari keseluruhan emisi global.

Artinya ada yang lebih besar, seperti industri, transportasi, energi, dan lainnya.

“Jadi kalau kita ingin membebankan seluruhnya pengendalian perubahan iklim ini hanya dari sektor hutan ya tidak bakal memberikan efek. Karena hanya 30 persen,” katanya.

Baca juga: Wamen LHK: Forest Healing Activities, Kembali ke Hutan untuk Penyembuhan Fisik dan Psikis

Paris Agreement salah satu yang mendorong adanya insentif, khususnya dalam pasal 5 adalah result base payment.

Baca juga: Dukung Upaya Pemerintah Merespons Perubahan Iklim, KPI Group Diapresiasi KLHK

Artinya, jika pengendalian emisi dari mencegah deforestasi, degradasi hutan, kemudian melakukan rehabilitasi hutan seharusnya Indonesia berhak menerima yang namanya pembayaran berbasis kinerja.

Sebenarnya Indonesia sudah mendapatkan komitmen dari Global Climate Fund sebesar USD 110 juta untuk keberhasilan mengurangi emisi dari tahun 2014 sampai 2016.

Kemudian ada kerjasama dengan Forest Carbon Partnership dengan World Bank di Kalimantan Timur, dimana Indonesia memproyeksi sekira USD 110 juta dari kegiatan itu.

Baca juga: Wamen LHK: Mangrove Fitur Alami Signifikan Redam Abrasi Laut

Akan tetapi jumlah itu masih terlalu kecil.

Namun, pihaknya berupaya memperoleh hak atas pemeliharaan hutan, sebagaimana yang tertuang dalam Paris Agreement.

“Jadi ada ya. Tapi itu masih kecil, kita ingin banyak. Dan kita jangan melihat dari karbonnya saja kalau hutan tropis. Ada jasa lingkungan lainnya di ekosistem hutan itu. Tidak hanya karbon di pohon, tapi ada keanekaragaman hayati kemudian terkait ekowisata, jasa lingkungan lainnya hydro geothermal. Jadi harganya kalau kita ingin result base payment itu kalau dijanjikan unitnya satu bulan itu tidak hanya 5-10 dollar dong. Bisa saja jadi 100-200 dollar per ton. Nah ini sedang kita upayakan,” ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat