androidvodic.com

KLHK: Konferensi Iklim COP 26 Hasilkan Keputusan Penting Soal Pasar Karbon - News

News, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan konferensi iklim di COP 26 telah menghasilkan keputusan penting soal pasar karbon.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK sekaligus Ketua Delegasi Indonesia pada COP 26, Laksmi Dhewanthi mengatakan COP 26 Glasgow telah meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi berbagai elemen Paris Agreement.

"Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi,” kata Laksmi dalam pernyataannya, Minggu (14/11/2021).

Meskipun ia menyayangkan terdapat hal yang tidak seharusnya terjadi dalam sebuah forum negosiasi antar negara, karena tidak keseluruhan proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka dan inklusif.

Baca juga: Kurangi Emisi Karbon, Menteri PUPR: Pembangunan di Perkotaan Berkonsep Green Building

Catatan substansi yang cukup krusial dan menjadi diskusi cukup hangat adalah terkait penyelesaian pasal/artikel 6, agenda to keep 1.5 degree temperature alive.

Terutama penghapusan/pengurangan penggunaan batubara dan subsidi bahan bakar fosil.

Serta upaya untuk menghasilkan naskah keputusan yang berimbang (balanced text) antara kewajiban untuk meningkatkan ambisi dan target (mitigasi) oleh negara pihak dengan kewajiban untuk pemenuhan komitmen pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang. 

“Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif," lanjutnya.

Baca juga: Kemenparekraf Dorong Upaya Kurangi Emisi Karbon di Destinasi Wisata

Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian upaya pemenuhan komitmen NDC-nya.

Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir COP26, akhirnya Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact), yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara yang disebut sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, tidak sepenuhnya dapat disepakati seluruh negara pihak.

Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk menghentikan secara bertahap daripada menghapus batubara.

Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda.

"Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim. Tapi banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius," jelas Laksmi.

Baca juga: AMAN: Perdagangan Karbon Layak Ditolak, Bikin Indonesia Didikte Negara Maju

Terkait dengan Enhance Transparency Framework (ETF) atau Transparansi yang ditingkatkan, isu metodologi terkait ETF untuk aksi dan support mengacu ke Pasal 13 Persetujuan Paris telah diadopsi.

Untuk itu, Indonesia menekankan bahwa Para Pihak perlu didorong untuk segera membuat persiapan yang diperlukan untuk memastikan pelaporan Biennium Transparency (BTR) tepat waktu di bawah ETF sesuai dengan Pasal 13 Perjanjian Paris dan batas waktu yang ditetapkan dengan menggunakan outline yang telah disepakati.

"Selain itu dukungan bagi implementasi ETF berdasarkan Pasal 13 Persetujuan Paris perlu disediakan secara tepat waktu, memadai dan dapat diprediksi, mengingat ETF adalah untuk membangun kepercayaan (Building Trust)," ucap Laksmi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat