androidvodic.com

BRGM Aktif Lakukan Monitoring Digital Untuk Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan - News

News - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia 2021 diidentifikasi lebih agresif dibanding tahun 2020. Data yang diambil dari aplikasi monitoring karhutla yang dikembangkan oleh KLHK, Sipongi,  menunjukkan peningkatan hingga 19.4% dibanding tahun lalu, dari 296.942 hektare (ha) menjadi 354.582 ha.

Sejak akhir tahun 2018, Sistem Pemantau Air Lahan Gambut (SIPALAGA) diluncurkan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) berkolaborasi dengan beberapa lembaga terkait seperti BRIN, BMKG, KLHK dan Perguruan Tinggi. Sistem ini diperkenalkan untuk menjadi salah satu metode dalam mencegah potensi terjadinya karhutla.

Dalam prosesnya, SIPALAGA menampilkan data yang dikumpulkan dari Alat Pemantau Tinggi Muka Air (APTMA). APTMA adalah alat telemetri yang terpasang di area gambut. Alat ini memiliki kemampuan untuk mengukur tinggi muka air tanah, kelembaban tanah dan curah hujan pada beberapa Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terpilih. 

Informasi yang terekam oleh APTMA kemudian terhubung dengan server BRGM untuk ditampilkan dalam SIPALAGA. Salah satu keunggulan dari sistem ini adalah bersifat real-time, sehingga dapat diakses dalam berbagai kondisi melalui sipalaga.brg.go.id. 

Arief Darmawan dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang ikut andil dalam membangun sistem ini, memberikan catatan positif.

“Untuk karhutla, Tinggi Muka Air (TMA) berperan dalam menentukan darah rawan terbakar dan APTMA BRGM menyediakan data real-time (diperbaharui setiap 1 jam sekali). Hal ini sangat bernilai, sebab ini dapat digunakan sebagai early warning yang efektif,” jelas Arief.

Petugas lapangan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat mengungkapkan “Adanya APTMA sangat bermanfaat bagi kami untuk memantau kondisi level permukaan air, utamanya dalam melaksanakan kegiatan operasi pembasahan. Melalui sistem ini, karhutla dapat diantisipasi sejak dini,” cerita Gembong Sulistyo.

Meski begitu, berbagai kendala masih ditemui di lapangan terkait APTMA.  Misalnya, beberapa APTMA ditemukan berada pada posisi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan letak Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG) yang terbangun.

Selain itu, terdapat APTMA yang diletakkan di area yang baru akan direncanakan sebagai area restorasi. Sebagai solusi atas kendala ini, perencanaan lokasi APTMA  disesuaikan dengan data rencana pemutakhiran prioritas restorasi dan parameter lain terkait area pembasahan.

Selain APTMA, BRGM juga bekerjasama dengan BMKG dalam publikasi Fire Danger Rating System (FDRS) Gambut. Sistem ini memiliki fungsi untuk memprediksi tingkat kerentanan gambut berdasarkan kondisi cuaca, meliputi curah hujan dan suhu udara, dan kelembaban tanah sebagai representasi KHG. 

Saat ini, FDRS Gambut yang telah dikembangkan mampu memprediksi kerentanan kebakaran gambut hingga tujuh hari ke depan. Selanjutnya, informasi dari sistem FDRS dan SIPALAGA ditindaklanjuti menjadi laporan resmi. 

Kepala Kelompok Kerja Monitoring, Evaluasi dan Pengembangan Data, Dian Nur Amalia menyatakan, “Laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kerawanan kebakaran di lahan gambut pada tujuh provinsi prioritas restorasi gambut secara rutin dua mingguan, setiap tanggal 1 dan 16 pada bulan berjalan. Hal ini diharapkan menjadi salah satu referensi dalam mengambil keputusan mengenai mitigasi kerawanan kebakaran lahan gambut di wilayah kerjanya masing-masing”. (*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat