androidvodic.com

Kepala BKKBN Ingatkan Bahaya Miras dan Rokok bagi Kesuburan Pria - News

Laporan Wartawan News, Willy Widianto

News, JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyebut minuman yang mengandung alkohol bisa menyebabkan terjadinya infertilitas.

Hal itu disebabkan minuman ini bisa mempengaruhi pembentukan sel telur dan sperma.

“Minuman beralkohol itu merusak liver Sebetulnya, proses pembentukan sel telur atau sperma itu dipengaruhi oleh hormon dari liver. Jadi, kalau kecanduan alkohol terlalu berat, akan terjadi gangguan pada fungsi liver sehingga pembentukan sel telur dan sperma juga terganggu. Jadi, sepanjang tidak mengandung alkohol, makanan dan minuman itu tidak masalah untuk fertilitas,” ujar Hasto dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Jumat(17/6/2022).

Seperti diketahui, air minum dalam kemasan (AMDK) galon sama sekali tidak mengandung alkohol. Karenanya, air galon ini dipastikan sama sekali tidak menyebabkan infertilitas bagi para konsumennya.

Baca juga: Layanan Serentak Sejuta Akseptor, BKKBN Dorong Paradigma Baru Keluarga Berencana

Selain itu, menurut Hasto, orang yang kurang protein atau lemak juga bisa menyebabkan infertilitas.

Untuk wanita yang kurang gizi, biasanya masa mensturasinya akan terganggu yang bisa menyebabkan ketidaksuburan. Begitu juga dengan orang yang overweight atau kelebihan lemak, menurut Hasto, itu juga secara tidak langsung bisa mempengaruhi kesuburan.

Hasto mengatakan orang mengalami gangguan fertilitas di Indonesia itu angkanya hanya 5-15 persen saja. Menurutnya, infertilitas di Indonesia itu masih banyak disebabkan karena infeksi, misalnya karena banyak keputihan yang bisa menyebabkan infeksi saluran kelamin.

“Infeksi ini kemudian menyebabkan saluran telurnya menjadi buntu,” ujarnya.

Baca juga: Fokus Percepatan Penurunan Stunting dan Program KB, BKKBN Kembali Raih Penghargaan PBB

Hasto juga mengungkapkan laki-laki perokok juga berpengaruh terhadap kesuburan. Termasuk juga karena nikahnya terlalu tua, itu sangat related dengan fertilitas. “Ketika usia sudah 38 tahun, orang itu akan mengalami penurunan yang panjang di fertilitasnya secara alami,” katanya.

BKKBN berkomitmen untuk menurunkan angka total fertility rate (TFR) dari 2,46 sebelum pandemi menjadi 2,24 setelah dua tahun masa pandemi. TFR adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia subur/reproduksinya.

Menurut Hasto, BKKBN telah berhasil menurunkan angka kelahiran secara tajam dari 5,6 menjadi 2,2 kelahiran per perempuan selama 1970 hingga tahun 2000.

“Penurunan angka kelahiran ini memperlambat laju pertumbuhan penduduk dan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur sehingga meningkatkan standar hidup masyarakat,” ungkapnya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan BKKBN untuk bisa menurunkan angka kelahiran itu adalah dengan memberikan layanan secara masif sampai di tingkat bidan. Dalam hal ini, obat BKKBN itu digratiskan untuk semua masyarakat dan tidak perlu harus menjadi anggota BPJS.

“Tapi, semua yang memang perlu dilayani diberikan secara gratis baik obat KB, susuk, suntik, operasi steril untuk baik vasektomi untuk pria dan tubektomi untuk wanita,” ucapnya.

Dia mengutarakan ukuran kesadaran pasangan usia subur yang memakai alat kontrasepsi di Indonesia juga sudah relatif tinggi, mencapai 57 % . Sementara yang menggunakan KB alami sekitar 7 % .

“Orang-orang ini umumnya yang berpendidikan tinggi, jadi bisa mengatur masa suburnya juga,” tukasnya.

Adapun daerah-daerah yang total fertility rate-nya rendah mendekati 2,0-2,1 adalah Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Hasto mengatakan itu karena kesadaran untuk memakai alat kontrasepsi di daerah-daerah ini sudah tinggi.

Sebelumnya, Hasto mengatakan diperlukan penelitian antar center untuk benar-benar membuktikan bahwa air kemasan galon guna ulang bisa menyebabkan infertilitas atau gangguan kesuburan pada sistem reproduksi pria dan wanita. Menurutnya, kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, perlu berhati-hati untuk menyampaikannya ke publik.

“Itu masih butuh riset multi center saya kira agar menjadi bukti yang kuat,” ucapnya.

Dia mengatakan informasi itu perlu melihat dari center pendidikan di UGM, UNAIR, UI, ditambah di Singapore, USA, dan di negara-negara lain. “Setelah itu baru hasilnya dipadukan dan dilihat seperti apa kesimpulannya. Kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, itu harus hati-hati,” ujarnya.(Willy Widianto)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat