androidvodic.com

Kasus Korupsi di Basarnas, Koalisi Masyarakat Sipil: KPK Berhak Lakukan Pemeriksaan - News

News, JAKARTA - Kasus korupsi Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi, dalam dugaan suap pengadaan barang dan jasa, menunjukkan bahwa kejahatan rasuah di Indonesia tidak mengenal latar belakang, sipil maupun militer.

Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk “Tuntaskan Korupsi Basarnas dan Reformasi Peradilan Militer” di Cafe Sadjo, Jakarta, Minggu 30 Juli 2023 yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

"Merespon kejadian yang kontroversi belakangan ini terkait dengan penetapan tersangka Kepala Basarnas dan anak buahnya menunjukkan bahwa hukum sudah tidak lagi menjadi panglima di negeri ini," kata Wahyudi Djafar, Direktur Elsam.

Pernyataan ini merujuk keberatan pihak TNI atas langkah KPK yang mengumumkan status tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi.

Menurut Wahyudi, semangat reformasi militer lewat hadirnya undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ingin mengembalikan kedaulatan hukum dari praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan institusi militer di masa lalu.

"Salah satunya yang termaktub di dalam pasal 65 undang-undang TNI. Kita gagal untuk bisa mengembalikan secara penuh kedaulatan hukum dalam konteks akuntabilitas militer termasuk dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh mereka. Terkait dengan institusi militer, kedaulatan hukum tidak justru ditegakkan, tetapi malah diinjak-injak sedemikian rupa," ujarnya.

"Kalau kita melihat pada undang-undang anti-korupsi, kita seharusnya melihat Lex spesialis-nya itu ada pada undang-undang pemberantasan korupsinya bukan pada undang-undang yang lain dalam hal ini Peradilan Militer, bukan pada subjek hukumnya. Ini menempatkan subjek hukum lex specialis karena dia bagian dari institusi militer kemudian menafsirkan bahwa dia semata-mata hanya bisa dikenakan pertanggungjawaban atau akuntabilitas menggunakan prosedur hukum militer."

Sementara Dimas, Koordinator KontraS, mengatakan, Basarnas sebagai lembaga pemerintah sesuai dengan Perpres Nomor 83 tahun 1986 merupakan domain peradilan umum, sehingga permasalahan-permasalahan yang terkait dengan lembaga tersebut itu sepatutnya diproses melalui peradilan umum. dalam hal ini peradilan tindak pidana korupsi.

"Kami juga menyoroti bahwa langkah yang diambil oleh KPK dan Puspom TNI itu memundurkan reformasi TNI, membuat profesionalitas di tubuh TNI itu mengalami kemunduran. Gestur kedatangan para jenderal ke institusi KPK itu membuktikan sebagai gestur intimidasi militer kepada institusi sipil untuk mengintervensi proses penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh KPK," ujarnya.

Ia menambahkan, gestur ini sebagai bentuk arogansi militer terhadap kekuasaan sipil. Ini juga menunjukkan masih belum adanya upaya-upaya secara signifikan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap institusi militer secara konstruktif seperti membuka wacana untuk merevisi undang-undang tentang Peradilan Militer, sehingga ada distingsi yang jelas mana kewenangan Peradilan Militer dan mana kewenangan peradilan umum.

Di sisi lain, M. Isnur, Ketua YLBHI, menilai ada tindakan akrobatik hukum dan upaya pembelokan informasi atau disinformasi dari undang-undang dari aturan hukum yang ada.

"Kejadian ini menunjukkan adanya kekacauan koordinasi dan komunikasi di internal KPK antara satu pimpinan dengan pimpinan yang lain, saling menyembunyikan dan saling menyalahkan," katanya.

"Dari kasus ini kita juga melihat absennya peran DPR dan Presiden dalam upaya menjaga penegakan korupsi itu tetap berjalan di relnya, bahkan Presiden cenderung terlihat mendukung pelemahan pemberantasan korupsi."

Selain itu kasus korupsi di Basarnas ini juga membuktikan macet dan berhentinya proses reformasi Peradilan Militer yang acapkali menjadi sarana impunitas bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat