androidvodic.com

Dirjen AHU Jelaskan Peran Notaris dalam Mengidentifikasi Transaksi Mencurigakan Berujung TPPU - News

News, JAKARTA - Mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang. 

Tindakan tersebut dilakukan untuk mendukung upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme (TPPU/PT).

Dalam tindakan pertukaran atau perpindahan uang, tidak jarang terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang kemudian memicu adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan.

Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen AHU Kemenkumham), selalu mengingatkan pentingnya tugas notaris untuk mengantisipasi transaksi keuangan yang mencurigakan.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo R. Muzhar, dalam kesempatan pidatonya di acara dengan tema 'Sosialisasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Dan Tata Pelaporan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)' di Denpasar, Bali, Rabu (22/5/2024), menjelaskan tentang peran penting yang dimainkan oleh notaris dalam mengimplementasikan standar dan prinsip yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF).

FATF adalah sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk mengembangkan dan mendorong penerapan kebijakan-kebijakan untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan teroris di seluruh dunia, dan notaris memiliki tanggung jawab yang signifikan dalam mendukung tujuan-tujuan ini.

"Sebagai bagian dari komunitas profesional yang berperan dalam transaksi keuangan dan hukum, notaris memiliki peran yang krusial dalam memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan anti-pencucian uang dan anti-terorisme," kata Cahyo di sela pidatonya, Rabu (22/5/2024).

Dirjen AHU tersebut menambahkan, melalui tugas dan kewenangan, notaris memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aktivitas yang mencurigakan, memverifikasi identitas pelaku, dan melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada otoritas yang berwenang.

"Jika notaris yang menjadi gatekeeper transaksi tidak menjalankan fungsinya, tentu berdampak pada kredibilitas Indonesia. Jangan sampai, ekonomi kita menurun akibat notaris yang tidak bertanggung jawab dan tidak profesional," ujar Cahyo.

Oleh karena itu, Kemenkumham sebagai pengawas dan pembina notaris melalui Ditjen AHU terus melakukan upaya sosialisasi kepada seluruh notaris terutama para notaris baru agar mereka paham dan mengerti pedoman Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) dan Kewajiban Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh notaris.

Cahyo menambahkan, dalam penerapan PMPJ ini, notaris tidak perlu takut melaporkan dan tidak perlu takut dituntut secara perdata maupun pidana, karena notaris telah dijamin perlindungannya sesuai ketentuan Pasal 5, Pasal 28-29, Pasal 83-86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tentunya, Ditjen AHU Kemenkumham telah memberikan kepada notaris soal apa yang harus dilakukan untuk memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan tugas profesi notaris.

"Saya harapkan agar notaris memahami mekanisme tata cara pengisian penilaian risiko ini karena penilaian risiko diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman dari berbagai faktor yang terdapat dalam sektor tindak pidana korupsi sehingga dapat diketahui hal mana yang paling berisiko dan dapat dilakukan mitigasi TPPU secara efektif dan efisien," kata Cahyo.

Salah satu alat yang digunakan oleh FATF untuk menilai kepatuhan suatu negara terhadap standar internasional dalam hal pencegahan pencucian uang dan pendanaan teroris adalah melakukan penilaian tim (Mutual Evaluation). 

Setelah melakukan penilaian, FATF dapat menentukan apakah suatu negara harus dilakukan tindak lanjut yang lebih intensif dalam hal memperbaiki kelemahan dalam sistem anti-pencucian uang dan anti-terorisme mereka.

Sebagai negara anggota baru FATF yang ke-40, Indonesia ditunjuk untuk Enhanced Follow-Up, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menyampaikan Enhanced Follow-Up Report (EFR) kepada FATF. 

Kewajiban menyampaikan EFR oleh Indonesia merupakan bagian dari proses pengawasan yang dilakukan oleh FATF.

"Salah satunya adalah mengenai pengawasan terhadap efektifitas penerapan PMPJ dan Pelaporan LTKM melalui aplikasi goAML milik PPATK. Perlu saya sampaikan bahwa berdasarkan hasil MER tahun 2022 dan 2023, terdapat defisiensi terkait jumlah Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (LTKM) dari notaris yang sangat sedikit," katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat