androidvodic.com

Soroti Pajak Aset Kripto, Analis: Apakah Kelak Pungutan Pajak Kripto Bisa Berjalan Transparan? - News

News, JAKARTA - Pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perdagangan aset kripto dianggap momen pengakuan aset digital tersebut secara legal untuk diperdagangkan.

Namun masih terdapat pro dan kontra terkait imbas pengenaan pajak tersebut terhadap geliat perdagangan aset kripto ke depan.

Melalui PMK No. 68/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, pemerintah menetapkan tarif PPN dan PPh terhadap transaksi kripto. Berdasarkan regulasi itu, besaran PPN aset kripto sebesar 1 persen dari tarif PPN jika transaksi melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Serta besaran 2 persen tarif PPN jika transaksi dilakukan bukan PMSE.

Baca juga: Tukar Menukar Aset Kripto Bakal Kena Pungutan PPh dan PPN, Berikut Alasan Ditjen Pajak

Selain itu, perdagangan aset kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 yang dipungut kepada penjual, penyelenggara PMSE, serta penambang aset kripto. Besaran tarif PPh itu sebesar 0,1 persen.

Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, kebijakan pemerintah memajaki perdagangan kripto bisa dilihat dari sisi positif, yakni pengakuan legalitas perdagangan kripto. Pernyataan itu mengacu kepada ketidakselarasan pandangan pemangku kebijakan terhadap perdagangan kripto yang belakangan mencuat, terutama sikap dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Baca juga: PPATK Beberkan Sejumlah Modus Pencucian Uang dari Investasi Ilegal, Salah Satunya Aset Kripto

Meskipun telah dinaungi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), perdagangan aset kripto sempat dikritik OJK. Karena itu, munculnya kebijakan pajak tentang aset kripto, tidak lain merupakan pengukuhan pengakuan legalitas perdagangan aset kripto.

“Sebab dengan dijadikannya aset kripto sebagai objek pajak, berarti negara mengakui legalitas dari aset kripto ini. Apalagi aturan terkait investasi lewat aset kripto pun sudah ada dari Bappebti, sehingga menjadi pertanyaan kenapa OJK beberapa waktu lalu mengeluarkan peringatan kepada bank-bank di Indonesia,” ungkapnya.

Di lain sisi, pengenaan pajak aset kripto juga berpotensi memunculkan efek negatif terhadap geliat perdagangan yang baru mulai tumbuh.

“Jadi saya lihat perpajakan ini akan cukup mengganggu iklim inovasi aset kripto di Indonesia. Karena sebelumnya aset ini tidak dikenai pajak. Tapi memang mau tidak mau harus dikenakan pajak,” kata Nailul.

Sebaliknya, dia menilai penerapan pajak juga diberlakukan untuk instrumen investasi ataupun perdagangan komoditas lainnya. Nailul mengungkapkan dengan penerapan pajak aset kripto, maka memenuhi unsur keadilan yang setara antara aset kripto dan instrumen lainnya.

“Nanti para pengembang memang akan berpikir seribu kali untuk membangun aset kripto yang berasal dari Indonesia. Meskipun ketentuan perpajakan ini harus ada untuk menciptakan level of playing field yang sama dengan instrumen investasi lain,” simpul Nailul.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melontarkan pendapat senada. Meskipun belum terbentuk bursa kripto, jelasnya, dengan adanya aturan perpajakan yang secara khusus mengatur aset kripto, maka telah menempatkan aset digital ini sebagai potensi pemasukan negara bukan lagi dianggap ancaman.

“Apalagi jumlah investor kripto lebih tinggi daripada pasar modal. Indonesia negara nomor 4 dengan jumlah investor aset kripto terbanyak di dunia,” kata Bhima.

Persoalannya, dia mengungkapkan apakah kelak pungutan pajak terhadap aset kripto bisa berjalan secara transparan. “Bagaimana dirjen pajak menjamin bahwa yang dilaporkan adalah aset yang riil mereka miliki. Pemerintah bisa melakukan pendataan dan lebih transparan juga,” tukas Bhima.

Terkini Lainnya

  • pengenaan pajak aset kripto juga berpotensi memunculkan efek negatif terhadap geliat perdagangan yang baru mulai tumbuh.

  • BERITA REKOMENDASI

  • BERITA TERKINI

Tautan Sahabat