androidvodic.com

Pasar Dikuasai Asing, Domestik Terancam Gulung Tikar - News

Ditulis oleh : Yudha Amdan

TRIBUNNERS - Kenaikan signifikan impor bahan baku dan produk jadi industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) dalam tahun-tahun terakhir mengancam keberlanjutan industri dalam negeri dan perekonomian nasional.

Rata-rata 5 tahun terakhir menunjukan kenaikan impor serat polyester sebesar 11,2% dan benang filamen sebesar 20,2% hingga kuartal III tahun ini sedangkan dalam hitungan year-on-year menunjukkan impor serat polyester dan filamen naik menjadi 30% dan 45%.

Hal ini memaksa produsen bahan baku dalam negeri mengurangi aktivitas produksi dan berujung pada sejumlah besar pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah dimulai beberapa perusahaan.

Kecenderungan ini akan berdampak negatif pada kestabilan ekonomi nasional mengingat seluruh rantai industri TPT merupakan salah satu kontributor utama penyerapan tenaga kerja nasional.

Selisih harga sebagai dasar pemakluman aktivitas impor tidak sepenuhnya dapat diterima karena besarannya bertentangan dengan logika usaha.

Harga sejumlah komoditas tersebut berada di bawah biaya produksi yang dapat dikonfirmasi pada pasar internasional.

Disinyalir, harga tersebut merupakan upaya dumping oleh pihak dari negara tertentu. Ketergantungan pada komoditas impor tentu mengancam keberlanjutan usaha.

Industri TPT telah berkembang sejak dekade 90an dimana terdapat banyak fasilitas pabrik dan pengolahan didirikan dengan basis teknologi yang terintegrasi.

Dalam jangka waktu itu, industri telah membentuk rantai nilai vertikal yang dapat hancur jika laju impor tidak dapat ditahan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) V Ravi Shankar menyatakan bahwa impor berlebihan akan melemahkan industri hulu yang dapat merusak struktur industri TPT Indonesia.

"Vertical supply chain yang telah kita bangun bersama dengan usaha keras dan kerja sama semua pelaku industri TPT tidak akan bisa begitu saja dibangun kembali, kecuali kita semua mulai dari hulu, antara, hingga hilir dapat tetap bersama-sama mempertahankannya," ujarnya.

Konsumsi TPT saat ini cenderung bertumbuh landai sehingga masih dapat menggerakkan industri dalam negeri.

Namun sangat disayangkan bahwa permintaan tersebut justru beralih ke tangan asing.

"Hal ini sangat bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RPIN) 2015-2035 yang menempatkan TPT sebagai prioritas nasional," ulas Ravi.

APSyFI menghimbau pemerintah untuk dapat memberikan perhatian serius terhadap kondisi kritis ini. Kebijakan dan implementasi regulasi yang tepat sangat diharapkan agar industri strategis ini dapat segera diselamatkan dari serangan bertubi ini.

"TPT punya kemampuan untuk bangkit lagi, tapi tentu harus didukung oleh regulasi yang tegas untuk memproteksi kita," tutup Ravi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat