androidvodic.com

Virus dan Forelius Pusillus (The King of Lip Service) - News

Oleh Xavier Quentin Pranata*

Seorang petani memeriksa rumahnya yang habis terbakar. Siapa tahu masih ada barang berharga yang bisa dia dapatkan. Saat mengais-ngais tumpukan barang yang menghitam dan masih mengepul, tiba-tiba dia mendengar suara ciapan anak ayam.

Saat dia dekati, petani itu menemukan gundukan daging yang menghitam. Ketika dibalikkan, dia menemukan beberapa piyek dengan tubuh penuh jelaga dan gemetaran menciap lemah.

Hatinya luruh.  Air mata menggenang. 

Rupanya induk ayam itu menjaga anak-anaknya dari api sampai dia sendiri mati terbakar. Keajaiban Tuhan! Sejenis semut di Brasil, forelius pusillus, mempunyai naluri untuk melindungi yang sama dengan induk ayam itu. Setiap malam, beberapa ekor di antaranya melakukan apa yang disebut "pre-emptive defensive self-sacrifice".

Baca juga: BEM UI Unggah The King of Lip Service, Curhat Jokowi Dibilang Otoriter Sampai Bapak Bipang

Baca juga: New Normal, Budaya Malu, dan Berita Nyesek Slavoj Žižek

Setelah saudara-saudaranya masuk ke liang menjelang malam hari, sekumpulan kecil semut itu menutup lubang, sehingga keluarganya aman dan nyaman di dalam sarang. Bagaimana nasib mereka? Mati mengenaskan diterkam kekejaman malam yang seringkali bersuhu ekstrem. Dua kisah binatang di atas menunjukkan meskipun dianggap ciptaan di bawah manusia, ternyata menunjukkan ketulisan hati yang ironisnya sering menghilang dari primata prima bernama manusia. Dalam film Transformer, Primus Prime yang dianggap lebih punya hati terhadap autobots rakyatnya ketimbang sebagian pemimpin dunia, padahal, dia adalah robot ‘besi’ yang mati dan tak berjiwa.

Tanda-tanda nir kepedulian itu, ada di sekitar kita. Di tengah menggilanya kembali covid-19 varian Delta, masih ada saja banyak yang mempercayai hoaks. Teori konspirasi terus-menerus jadi narasi. Saat Bed Occupancy Rate (BOR) di rumah sakit mencapai titik puncaknya dan tenaga medis terus-menerus terpapar dan terkapar, bahkan sampai meninggal dunia, masih ada orang yang bukan saja apati, tetapi juga antipati terhadap vaksinasi. Bukankah mereka seperti induk ayam dan semut forelius pusillus yang bekerja dengan tulus bagi kita?

“Jika tidak bisa membantu, jangan mengganggu.” Ungkapan bijak yang pernah populer itu bisa kita jadikan kompas pribadi dalam mengatasi pandemi.

Jangan Mengganggu

Gangguan itu bisa berupa tindakan nekad yang menerobos dan menerabas pagar protokol kesehatan yang pemerintah lakukan. Bisa nyinyir, bahkan memelintir kebijakan pemerintah bahkan sebelum membaca draft-nya. Penegakan disiplin dianggap pengalihan isu terhadap kasus yang lebih besar.

Masih segar di dalam ingatan kita bagaimana hingat bingarnya respons masyarakat bahkan sebelum vaksin beredar. Haram tidaknya vaksin menjadi salah satu pembicaraan yang ramai. Jenis vaksin yang beredar pun ditanggapi secara spekulatif. Vaksinasi yang dilakukan presiden dianggap rekayasa. Banyak yang bersuara lantang agar vaksin digratiskan. Saat pemerintah sungguh-sungguh melakukannya, ada saja yang meragukan khasiatnya. Saat mantan menkes melakukan penelitian tentang vaksin Merah Putih, suara riuh kembali berbuih. Ada juga kecurigaan berlebih terhadap pemerintah. Misalnya, ada yang menuduh pemerintah dan aparat diam-diam memakai vaksin yang hebat sedangkan yang murahan untuk rakyat kebanyakan. Yang lebih menggelikan, ada yang menyebarkan berita bahwa di dalam vaksin ada chips yang bukan saja mematai-matai rakyat tetapi bisa mengendalikannya sesuai keinginan penguasa.

Mari Membantu

Apa yang bisa kita lakukan? Jika belum paham lebih baik diam. Jika masih ragu lebih baik menunggu. Respon jempol lebih cepat ketimbang otak. Berita yang belum tentu benar cepat sekali beredar dan menyebar. Jika motivasinya baik, kita masih bisa memaklumi kenaifan itu. Namun, jika ada bom agenda di balik berita, sungguh sangat disayangkan.

Saya teringat ucapan seorang teman yang berkata, “Hoaks ditulis oleh orang cerdas yang culas dan disebarkan oleh orang baik yang bodoh.” Mak jleb.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat