androidvodic.com

Tiga Pendekar NU Dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung - News

Tiga Pendekar NU Dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung

Oleh. Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

News - Ada tiga pendekar NU masuk dalam bursa calon Ketum PBNU di Muktamar ke-34 di Lampung. Ini informasi yang menghembus kencang dan menurut saya ini informasi positif demi mengurangi ketegangan dan potensi polarisasi ekstrim di internal NU. Tiga pendekar NU yang dimaksudkan adalah incumbent Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, KH. Yahya Cholil Tsafuq (Gus Yahya), dan Dr(HC) KH. As’ad Said Ali.

Ide calon ketum PBNU di Muktamar lebih dari dua banyak yang mensuarakan. Yang paling gencar adalah KH. Imam Jazuli dan saya sendiri juga selaras dengan ide ini.  Setidaknya tiga pendekar NU tersebut yang diperhitungkan. Sebab ketiganya sama-sama memiliki basis massa yang jelas, jaringan yang luas, berpengalaman dalam mengurus sebuah organisasi atau institusi, dan kiprahnya diakui baik di panggung nasional maupun internasional.

Publik—khususnya warga Nahdliyyin—perlu tahu bagaimana ketiga pendekar NU ini meserpon persoalan global. Lantaran demikianlah gambaran mereka ketika menahkodai NU dalam prsoalan global.

Cara Tiga Pendekar NU dalam Merespon Persoalan Global

Meski ketiganya memiliki kelebihan masing-masing. Belakangan viral penjelasan Yenny Wahid ketika diwawancarai oleh Karni Ilyan. Yenny Wahid memberi perbandingan yang berimbang dan obyektif antara kelebihan yang dimiliki KH. Said Aqil Sairadj dan Gus Yahya.

Yenny menyatakan bahwa, “Kiai Said Aqil itu sangat alim. Dari sisi keilmuan, salah satu ulama tak tertandingi keilmuannya. Beliau punya keistimewaan luar biasa dalam penguasaan dalil. Baik ilmu agama, hadis dan sejarah Islam.”

Sedangkan tentang Gus Yahya, Yenny Wahid menyatakan bahwa, “Kalau Gus Yahya kelebihannya jaringannya luar biasa. Beliau juga darah biru dalam NU. Beliau juga Kiai meneruskan abah beliau di Pesantren Rembang. Beliau fasih banyak Bahasa juga. Pengetahuan agama rata-rata pasti kalau kiai-kiai NU, sudah harus punya pengetahuan agama yang jelas. Punya dasar tradisi yang sangat kuat, akan tetapi jaringannya juga internasional. Dalam konteks zaman di mana kita terhubung secara global, maka jaringannya Gus Yahya ini punya keistimewaan dan membawa poin lebih buat NU. Keterlibatan banyak Gus Yahya di dalam forum di dunia, bertemu banyak tokoh-tokoh agama di dunia, itu menjadi platform yang luar biasa buat NU di dunia..”

Dalam konteks jaringan dan kiprah di dunia internasional ketiga pendekar NU tersebut memiliki pengalaman sendiri-sendiri. Meski terdapat kekhasan dan perbedaan. Yang paling kentara perbedaannya adalah di antara kedua calon, yaitu Kiyai Said dan Gus Yahya, dalam menyikapi persoalan Palestina-Israel. Meski tujuannya sama, yaitu menegakkan perdamaian Palestina-Israel dan kemerdekaan Palestina.

Kiyai Said lebih bersikap menjaga jarak dan bahkan emoh berkomunikasi dengan Israel, dan hanya mau berkomunikasi dengan Palestina. Diplomasi satu jalur dan lebih memberikan sikap dan posisening yang tegas serta memberikan pesan kepada dunia bahwa “kami berada di samping Palestina”.

Sikap Kiyai Said ini sejatinya selaras dengan sikap normatif dan tegas negara Indonesia yang terus berjuang menyuarakan kemerdekaan Palestina melalui forum-forum internasional khususnya di PBB. Suara Kiyai Said akhirnya satu frekuensi dengan Menlu Retno Masudi.

Sedangkan Gus Yahya lebih menggunakan diplomasi perdamaian yang pernah dirintis mendiang Gus Dur, yaitu berbicara kepada kedua belah pihak Palestina dan Israel. Sehingga berkali-kali dalam pernyataannya, Gus Yahya menyatakan bahwa ia sedang melanjutkan legasi warisan Gus Dur. Semasa hidupnya, Gus Dur berdiskusi dengan Yaser Arafat Palestina dan berdiskusi dengan Simon Peres Israel. Meski pada akhirnya jalur ini rupanya masih tergolong kontroversial.

Agaknya sikap Kiyai Said yang lebih memilih satu jalur bersama Palestina dan emoh brsama Israel adalah terkait dengan kepentingan nasional dan perebutan isu Palestina di dalam negeri. Sebelum NU melalui Kiyai Said menyuarakan dengan lebih lantang—meski sejeatinya NU sudah lama menyuarakannya—, isu Palestina dimonopoli oleh kalangan Islamisme dalam pemberitaan yang berdampak pada penguatan gerakan Islamisme, suara jihad bermanka sempit berkumandang, menguatnya kebencian dan intoleran terhadap non-muslim khususnya Yahudi, gencarnya donasi, dan politik identitas.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat