androidvodic.com

Terbuka Oleh Telko, Tertinggal di Pendidikan - News

Oleh Moch S Hendrowijono *)

KAMI mendarat di kampung Yarweiser, Pulau Arefi, tempat sebuah sekolah dasar yang bertahun-tahun masih dalam masa pembangunan, disponsori Batanta Diving Resort, namanya Batanta Education Center. Ada 70 murid dari kelas satu sampai kelas enam yang belajar bergantian bersama di ruang seluas sekitar 7 X 7 meter persegi dengan dua guru bergantian, Silva dan Herlin.

“Gedung” sekolah berdinding tembok, tanpa daun pintu dan daun jendela, atapnya daun semacam pohon kelapa pendek yang tumbuh di pantai, lantai hanya plesteran semen. Begitu dihargainya gedung yang rencananya dua ruang itu, anak-anak yang datang menggunakan alas kaki meninggalkannya di depan pintu.

Hampir tidak ada tangan pemerintah daerah yang masuk di kampung di pulau kecil, 2 jam berperahu cepat dari Sorong di kawasan Raja Ampat ini. “Tidak ada bantuan operasional sekolah (BOS), BLT (bantuan langsung tunai), walau pernah mendaftar,” tutur Silva (45).

Baca juga: Mengenal Provider Tri, Sejarah Awal Berdirinya hingga Merger dengan Indosat Ooredoo

Bersama Herlin, janda 4 anak itu mengajar gratis, kecuali ada sekadar sumbangan orangtua murid.

Di pulau ini ada gereja, ada bangunan di kompleks gereja yang baru saja terbakar, puingnya yang menghitam masih menumpuk tampak di kejauhan, sekitar 100 meter dari gedung sekolah. Sementara rumah-rumah penduduk beralaskan tanah, berdinding tulang dan beratap daun pohon yang sama dengan gedung sekolah.

Sebenarnya ada kerja sama Bakti, Pemda, dan startup Ruang Guru berupa Program ITF (Indonesia Teaching Fellowship) sejak 2019 dengan peserta 206 guru dari Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, serta 80 guru dari Kabupaten Sorong, Papua Barat, untuk meningkatkan kompetensi mereka.

Baca juga: Percepat UMKM Masuk Ekosistem Digital, Startup Teknologi Gandeng Dewan Koperasi Indonesia

Tahun 2021, Bakti menyelenggarakan ILF (Indonesia Learning Fellowship) untuk 80 siswa dari Kabupaten Asmat, Papua dan Ende, NTT, lalu di 2022, ILF dan ITF diikuti 160 peserta guru dan siswa, di Buru Selatan, Maluku dan Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Di Yarweiser setiap hari sekolah, “kelas” dibagi dua, dua jam pertama belajar diganti shift lain yang berbeda kelas. Kedua ibu guru harus bisa mengajar semua kelas, tetapi anak-anak juga disiplin.

Beberapa mengenakan pakaian sehari-hari warna warni, sebagian mengenakan seragam merah-putih, beberapa murid lelaki bercelana merah tanpa kancing, dan jarang yang beralas kaki. Di antaranya Valdo yang rambutnya pirang.

Tergantung Pulau Lain

Mengganti kancing harus pergi ke toko di Sorong, atau pulau Waisai, 90 menit naik perahu motor ongkosnya bisa Rp 300.000. Jadinya fungsi kancingnya oleh para emak diganti jahitan dengan benang seadanya, ada yang putih ada yang biru. Asal sesuatu di dalamnya tidak sampai terlihat.

Biaya hidup di Arevi mahal, semua masih tergantung pulau lain termasuk sembako, menyebabkan terbersit sedikit kesulitan hidup di wajah orangtua-orangtuanya. Namun anak-anak mereka ceria, seperti juga beberapa 3 gadis murid SMP yang hari itu terpaksa tidak masuk sekolah di pulau lain karena perahu motor pengantarnya sudah tiga hari rusak.

Semua anak menyanyi dengan semangat, mengucapkan Pancasila dengan keras dan tegas ketika diminta melakukannya, bahkan juga anak balita yang ikut nimbrung di bangunan kelas. Meski berkulit hitam, wajah mereka umumnya bersih, apalagi ada beberapa di antaranya yang rambutnya selain keriting berwarna pirang.

Baca juga: Indosat PHK 300 Karyawan, Berikan Pesangon 37-75 Kali Upah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat