androidvodic.com

Memahami Dengan Sederhana Konsep Ukhuwah Islamiyah - News

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA

TRIBUNNERS - Ukhuwah Islamiyah bisa pula diartikan Persaudaraan Islam atau Persaudaraan Sesama Umat Muslim. Islam menjadi sebuah agama sekaligus berfungsi sosial, yaitu mengikat tindakan sosial dengan tali nilai-nilai penghargaan, penghormatan, terhadap orang lain.

Persaudaraan Islam mengatasi faktor-faktor perpecahan, yang sering lahir dari perbedaan, baik ras, suku, bahasa, dan kebangsaan. Gagasan Persaudaraan Islam muncul pada tahun abad 19 dari kalangan intelektual muslim.

Konsep Ukhuwah Islamiyah sering kali dibicarakan bersamaan dan bergandengan dengan konsep Wahdah Islamiah (Persatuan Islam). Gagasan Wahdah Islamiah, salah satunya, dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Merekalah tokoh-tokoh yang cukup awal membahas konsep-konsep Ukhuwah Islamiah dan Wahdah Islamiah secara lebih sistematis.

Baca juga: Wapres: NU Harus Terus Jadi Simpul Pengunci Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah dan Insaniyah

Hasan Hanafi secara khusus menulis biografi Jamaluddin al-Afghani. Dalam menjelaskan pemikiran al-Afghani, Hasan Hanafi (2023:152), dalam bukunya "Jamaluddin al-Afghani", mengatakan bahwa Persatuan Islam (Wahdah Islamiah) berdiri di atas Persaudaraan Islam (Ukhuwah Diniyah). Sementara syariah Islam berperan menyatukan (wahdah) dan mengikat (irtibath). Persaudaraan Islam berarti kekerabatan (qarabah) dan persaudaraan di dalam Allah (fillah). Islam menjagi kekuatan yang menegakkan bangunan persaudaraan.

Al-Afghani meletakkan satu fondasi bagi kejayaan negara, yaitu berupa Persautuan Islam, dan keruntuhannya bersumber dari Persaudaraan Kesukuan (Wahdah al-Jins). Sebab, syariat Islam datang untuk mengatasi seluruh yang bernafas kesukuan. Umat Islam terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda, tatapi mereka sama di hadapan Islam, serta hanya berlomba-lomba dalam kebaikan. Setiap individu hanya dibedakan berdasarkan amal kebaikan mereka.

Umat manusia di dalam pandangan Islam diukur dari amal soleh mereka, bukan karena privilej, karena nasab, karena kekayaan, atau karena kehormatan keluarga. Sebaliknya, individu manusia dianggap mulia apabila memiliki budi pekerti yang luhur, berkontribusi kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan umat manusia lainnya. Amal soleh menjadi pilar bagi tegaknya Persaudaraan Islam. Tanpa amal soleh, bangunan persaudaraan akan runtuh.

Berbeda dari Jamaluddin al-Afghani yang condong sosiologis dalam memaknai Persatuan Islam dan Persaudaraan Islam, Muhammad Abduh lebih legalistik. Menurut Abdul Aziz bin al-Imran (1982:218), dalam bukunya "al-Wahdah al-Islamiah fi asy-Sy'ir al-'Arabi al-Hadits,", mengatakan bahwa Muhammad Abduh berpandangan pentingnya tali pengikat (rabithah) bagi seluruh umat muslim di berbagai dunia dan dalam berbagai aturan negara memiliki satu dasar, yaitu agama, dan memiliki satu hukum, yaitu al-Qur'an. Hubungan para hakim dan orang-orang yang terdakwa harus bersifat kasih sayang.

Muhammad Abduh mengatakan: "saya tidak mendorong pemimpin bagi seluruh umat muslim adalah satu orang (syahshan wahidan), karena ini sangat sulit. Tetapi saya berharap pemimpin masing-masing mereka adalah al-Qur'an, arah persatuan mereka adalah agama; hendaknya setiap masing-masing kerajaan tetap langgeng, dan dengan sekuat tenaga satu kekuasaan menjaga kelanggengan kekuasaan orang lain; karena kehidupan mereka bergantung pada kehidupan saudaranya."

Bagi Muhammad Abduh, umat muslim yang tersebar di seluruh dunia tidak harus dipimpin oleh satu orang. Selama semua umat muslim di setiap wilayah kekuasaan dan negara masing-masing berpegang teguh pada al-Qur'an, mendorong persatuan, dan tolong-menolong untuk melanggengkan kekuasaan masing-masing maka itu sudah disebut Persatuan Islam.

Muhammad Rasyid Ridha cukup produktif melahirkan karya-karya yang bertemakan Ukhuwan dan Wahdah Islamiah. Misalnya, melalui Majalah al-Manar, Jilid 3, 4 dan 6, Rasyid Ridha menerbitkan banyak artikel yang membahas seputar Ijtihad, Taklid, Wahdah Islamiah (Persatuan Islam), keragaman realitas umat muslim, biografi para imam mazhab, perbedaan ulama salaf dan ulama khalaf, dan pentingnya persatuan tanpa terganggu oleh perbedaan pemahaman terhadap aspek furu'iyah agama.

Dalam artikelnya yang berjudul "Muhawarat al-Mushlih wa al-Muqallid fi Masalah al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Wahdah al-Islamiah", Rasyid Ridha mengatakan: "Persatuan Islamiah berkenaan dengan ajaran-ajaran yang dianggap sebagai keyakinan keislaman mayoritas umat, sehingga siapapun yang baru memeluk Islam dapat memahaminya dengan baik. Masalah-masalah khilafiyah harus dianggap sebagai perkara ilmiah, yang tidak boleh menafikan Persaudaraan Islam, dimana orang yang pakar mengikuti apa yang benar menurutnya tanpa harus mencela orang lain yang berbeda."

Berdasarkan pemikiran tiga intelektual muslim abad 19-20 tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiah) menjadi asas atau fondasi bagi tegaknya Persatuan Islam (Wahdah Islamiah). Tidak akan pernah tegak sebuah persatuan apabila tidak dilandasi oleh persaudaraan. Selama persaudaraan dikedepankan, maka persatuan sudah pasti akan tercapai. Persatuan tidak akan pernah terwujud apabila nilai-nilai persaudaraan diinjak-injak.

Persaudaraan harus dijunjung tinggi melebihi kebenaran-kebenaran parsial dalam produk pemikiran para tokoh agama. Jika para tokoh agama memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda-beda satu sama lain, maka perbedaan pemikiran para tokoh agama tersebut tidak boleh digunakan untuk menggerakkan massa awam (umat) untuk menimbulkan huru-hara perpecahan. Setiap perbedaan pendapat para tokoh agama, menurut Rasyid Ridha, harus dianggap sebagai dinamika ilmiah saja.

Sebagai dinamika ilmu pengetahuan, maka sudah selayaknya tokoh agama tidak mengklaim kebenaran hanya milik kelompok mereka sendiri dan mengejek, menyudutkan, dan mendiskriminasi kelompok lain yang berbeda pemikiran. Dalam tradisi ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah masih dalam proses 'menjadi' (becoming), sehingga tidak ada kebenaran yang stagnan. Karenanya, perbedaan gagasan ilmiah keagamaan tidak boleh dijadikan kekuatan menimbulkan perpecahan umat.

Baca juga: Rayakan Iduladha di Pacitan, AHY: Semoga Kurban Menambah Solidaritas Ukhuwah Islamiyah Antarmanusia

Umat yang berpecah belah, termasuk bangsa dan negara yang saling berseteru satu sama lain, pasti berakhir pada kehancuran. Karenanya, Muhammad Abduh mendorong setiap umat di satu negara harus berjuang untuk melanggengkan kekuasaan negaranya, sekaligus mencurahkan segala daya dan upaya untuk membantu kelanggengan kekuasaan dan kedaulatan negara saudaranya. Bagi Abduh, tidak penting seluruh umat muslim di dunia harus dipimpin oleh satu orang penguasa di bawah satu negara. Selama mereka bersatu atas nama Islam, maka itu sudah cukup.

Dengan demikian, konsep Ukhuwah Islamiah atau Persaudaraan Islam adalah ruh bagi sebuah raga yang bernama Persatuan Islam. Persaudaraan adalah akar, yang pohon dan buahnya bernama persatuan. Persaudaraan dan persatuan harus dinomorsatukan, sedangkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat parsial dan berpotensi memecah-belah harus disingkirkan. Ukhuwah Islamiah tidak saja tentang sesama umat muslim, tetapi juga antara hakim (pemerintah) dan mahkum (rakyat yang diperintah) harus terbangun hubungan kasih sayang. Ukhuwah Islamiah juga tentang kerjasama "bainal mulk" (di antara setiap kekuasaan) di dunia.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat