androidvodic.com

Naikkan Tarif Cukai, Kementerian Keuangan Pertimbangkan Aspek Tenaga Kerja dan Penerimaan Negara - News

News, JAKARTA - Kalangan pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memberi penegasan agar dalam menyusun kenaikan tarif produk hasil tembakau, pemerintah sebagai regulator tetap harus memperhatikan kelangsungkan industri ini agar tidak mati.  

Staf Ahli bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi Kementerian Keuangan Susiwijono mengatakan, pesan Menteri Keuangan Sri Mulyani tersebut memberikan makna bahwa Kementerian Keuangan tidak semata-mata mengambil pendekatan penerimaan negara dalam menyusun kenaikan tarif cukai. Tapi juga memperhatikan laju industri dan pertumbuhan ekonomi.

"Ini yang dipesankan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani,” jelas Susiwijono pada sebuah diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Dalam penaikan tarif cukai, Kementerian Keuangan berusaha menjaga perimbangan yang mengacu pada tiga perspektif, yakni  tenaga kerja, penerimaan negara, dan kesehatan.

Jika penerimaan negara yang terus digenjot, ada kekhawatiran akan membuat industri ini stagnan.

"Pada saat bicara rencana kebijakan tarif cukai ke depan mempertimbangkan ekonomi dimana di dalamnya ada industri tembakau. Industri ini sudah besar, angka cukai Rp150 triliun. Cukai minuman beralkohol sehebat apapun paling tinggi Rp5 triliun," sebut Susiwijono.

Menurut Susi, penerimaan negara di APBN dar pendapatan cukai hasil tembakau sulit digantikan lantaran saat ini ruang fiskal relatif sempit karena perlambatan ekonomi.

"Penerimaan cukai tembakau tetap jadi andalan. Dari target APBN, cukai dari tembakau selalu di atas 95 persen. Kontribusi cukai industri hsail tembakau terhadap total perpajakan, di atas 9-10 persen. Kami ibaratkan cukai tembakau ini seperti itik bertelur emas," katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati berpendapat, , jika tarif cukai naik tapi kondisi ekonomi lesu dan industri sudah terbebani, maka dampak paling buruk terjadi PHK. “Kebijakan kenaikan cukai pasti akan memukul industri rokok. Ujung-ujungnya bisa terjadi PHK,” jelas Enny.

Enny menambahkan, cukai dan pajak dari hasil tembakau tidak mesti selalu harus dialokasikan untuk kesehatan dan akan lebih baik dipakai untuk kepentingan publik. Salah satu kepentingan publik yang bisa dibangun adalah perpustakaan umum, sarana transportasi, yang memberikan manfaat luar biasa kepada publik.

Jika bagi hasil dari cukai dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kesehatan, hal itu akan menimbulkan multitafsir. "Tentang kesehatan apa? Menurut saya, karena ini dipungut dari publik, sedapat mungkin itu dikembalikan untuk kepentingan publik," ujarnya.

Radmap Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan 2006-2020 menyebutkan, kebijakan tembakau berpatokan kepada tiga hal. Yakni, tenaga kerja, kesehatan,dan fiskal.  

Enny menambahkan, jika aktivis kesehatan mendesak rokok dihilangkan, pada tahapan ketiga aspek kesehatan menempatkan pada prioritas pertama, tapi tidak bisa prioritas kedua dan ketiga dalam hal ini fiskal dan ketenagakerjaan industri dihilangkan. karena itu menafikan juga roadmap yang ada.

"Dampaknya ke produsen, jumlah perusahaan pabrikan jelas bakal terus menurun," kata dia.

Kenaikan tarif cukai membawa konsekuensi naiknya harga jual rokok. Dikhawatirkan akan membuat perdagangan rokok ilegal jadi marak. Ketika yang legal stagnan, yang meningkat ilegal, akibatnya aspek kesehatannya juga tidak tercapai. Di saat yang sama penerimaan negara dari cukai juga tergerus.

Dampak jika IHT terus diuber untuk cukai, bisa dipastikan penerimaan bisa terus menurun, juga menimbulkan kejenuhan. Maka ekstensifikasi menjadi sangat penting, seolah IHT dikejar di tengah pelemahan ekonomi dunia.

"Sekarang kan baru alkohol dan IHT, mengapa misal pajak kendaraan, kan itu juga untuk fungsi pengendalian lingkungan, itu bisa dialihkan ke cukai," tegasnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat