androidvodic.com

Analis Ungkap Besarnya Peluang Pembiayaan Perbankan di 2022 Hingga Rp 780 Triliun - News

Laporan Wartawan News, Yanuar Riezqi Yovanda

News, JAKARTA -- Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan besarnya peluang bisnis perbankan dan non bank di 2022.

Dengan target investasi sebesar Rp 1.200 triliun pada tahun depan, apabila diasumsikan porsi pinjaman bank dan non bank adalah 65 persen, maka peluang pembiayaan mencapai Rp 780 triliun.

"Belum lagi, memperhitungkan bila dalam investasi tersebut terdapat perusahaan asing yang membawa modal dari negaranya 100 persen. Alhasil, peluang bank dan non bank untuk memberikan pinjaman modal kerja akan lebih besar lagi," ujar dia melalui risetnya, Rabu (29/12/2021).

Baca juga: PNM dan SMF Berkolaborasi Berikan Program Pembiayaan Mikro Perumahan untuk Karyawan PNM

Menurut dia, bank dan non bank akan lebih mudah membidik pembiayaan investasi apabila target pemerintah tersebut diselaraskan dengan rencana hilirisasi komoditas.

Dia menjelaskan, hilirisasi menjadi kunci pada pertumbuhan berkelanjutan dari sektor komoditas di tengah banyaknya permintaan pasca pelonggaran aktivitas.

"Berdasarkan arah dari pemerintah, perekonomian Indonesia ke depan akan berfokus pada hilirisasi komoditas, digitalisasi ekonomi, dan ekonomi hijau. Semua upaya tersebut akan membutuhkan investasi dan pembiayaan yang sangat besar," kata Nico.

Lebih lanjut, dia mencontohkan, ekspor bauksit harus dihentikan mulai 2022, timah batangan pada 2024, dan tembaga pada 2023.

"Kondisi tersebut harus dijawab dengan pembangunan smelter," tuturnya.

Baca juga: Tak Terpengaruh Pandemi, BTN Berhasil Salurkan Pembiayaan Rp 271,80 Triliun

Sementara di bidang ekonomi hijau pada 2031, semua PLTU berbahan bakar batu bara harus dihentikan dan berganti dengan energi baru terbarukan (EBT).

Diperlukan pula pabrik pengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai pengganti liquified petroleum gas (LPG), yang sekaligus akan menghemat belanja negara hingga Rp 20 triliun.

"Hal ini karena LPG yang sebagian masih diimpor harganya jauh lebih tinggi daripada harga DME. Fokus hilirisasi saat ini adalah pada industri berbasis bahan tambang dan feronikel, migas dan batu bara, serta sawit," pungkas Nico.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat