androidvodic.com

Ancam Kinerja Ekonomi, Gubernur BI Waspadai Fenomena Cash Is The King - News

Laporan Wartawan News, Ismoyo

News, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kembali menyebutkan kewaspadaannya Cash is The King dalam beberapa kesempatan penting.

Setelah mengungkapkan istilah tersebut di depan para anggota Komisi XI DPR RI, Perry kembali menyinggung Cash is The King di hadapan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (30/11/2022).

Menurutnya, fenomena Cash is The King termasuk salah satu dari 5 persoalan yang harus diwaspadai Indonesia, dan berdampak terhadap kinerja perekonomian.

Baca juga: Resesi Global di Depan Mata, Menimbang Investasi yang Cocok, Analis Sebut Cash is The King

Sebagai informasi, cash is the king yaitu fenomena penarikan dana para pelaku pasar global yang cenderung menarik dana dari negara berkembang dan menyimpan dananya di instrumen investasi yang likuid.

Hal ini tercermin dari menguatnya indeks dolar Amerika Serikat yang telah terjadi sejak beberapa bulan ke belakang.

Patut dicatat, Cash is The King bukan berarti para investor menyimpan dolar AS dalam bentuk tunai saja, tetapi bisa dalam bentuk tabungan, atau instrumen investasi dalam bentuk dolar AS yang likuid.

"Persepsi risiko investor global negatif. kita perlu mewaspadai 5 permasalahan dari prospek ekonomi global," ucap Perry di hadapan Jokowi.

Baca juga: Salip Jepang dan Jerman, India Diprediksi Jadi Ekonomi Terbesar Ketiga di Dunia pada 2030

"(Salah satunya) Cash is The King, penarikan dana investor global. Dan mereka mengalihkan ke aset likuid karena adanya risiko tinggi," sambungnya.

Diketahui, indeks dolar AS yang masih menguat berdampak terhadap pelemahan nilai tukar mata uang negara lain, termasuk Indonesia.

Hal ini juga membuat keluarnya dana asing (capital outflow) dari negara-negara emerging market, tak terkecuali Indonesia.

Selain fenomena cash is the king, Perry juga membeberkan ada 4 hal lain yang perlu diwaspadai Indonesia.

Pertama, adanya tren pertumbuhan ekonomi yang menurun akibat adanya ancaman risiko resesi di AS dan Eropa meningkat.

Kedua, inflasi yang sangat tinggi alias high inflation. Tingginya inflasi dikarenakan harga energi dan pangan global.

Baca juga: Bank Indonesia Targetkan Inflasi Turun ke 2,5 Persen pada 2024

Ketiga, adanya tren peningkatan suku bunga tinggi oleh Bank Sentral AS alias The Fed, yang juga diikuti oleh Bank Sentral dari negara-negara lain.

Keempat, dolar Amerika Serikat diprediksi masih akan sangat kuat. Tekanan tersebut akan membuat mata uang negara lain terdepresiasi, termasuk terhadap rupiah.

Untuk itu, Bank Indonesia menekankan pentingnya sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global.

Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).

"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," ujar Perry.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat