androidvodic.com

OPEC Plus Pertahankan Target Minyak di Tengah Melemahnya Ekonomi dan Sanksi Rusia - News

Laporan Wartawan News, Mikael Dafit Adi Prasetyo

News, BRUSSELS – OPEC dan sekutu penghasil minyaknya telah sepakat untuk tetap berpegang pada target produksi mereka karena pasar minyak berjuang untuk menilai dampak dari perlambatan ekonomi China dan pembatasan harga G7 atas pasokan minyak Rusia.

Dalam sebuah pertemuan para anggota OPEC Plus yang berlangsung pada Minggu (4/12/2022), menghasilkan keputusan terkait boikot Uni Eropa atas sebagian besar impor minyak Rusia dan batas harga 60 dolar AS per barel yang diberlakukan oleh Uni Eropa, negara-negara Kelompok Tujuh (G7) dan Australia.

Namun, belum jelas berapa banyak minyak Rusia yang dapat lepas landas dari kedua langkah tersebut di pasar global, yang dapat memperketat pasokan dan menaikkan harga.

Baca juga: Presiden Ukraina: Pembatasan Harga Minyak Rusia Kurang Serius

Adapun, produsen minyak terbesar kedua di dunia ini telah mampu mengalihkan sebagian besar pengiriman yang pernah dilakukannya untuk Eropa ke pelanggan di India, China, dan Turki.

Dilansir dari Aljazeera, Rusia mengatakan bahwa mereka tidak akan menjual minyaknya di bawah batas harga dan sedang menganalisis bagaimana menanggapinya.

Pangkas Produksi 2 Juta Barel Minyak

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, OPEC Plus yang mencakup Rusia, telah membuat frustasi Amerika Serikat dan negara-negara Barat ketika setuju untuk memangkas produksi minyaknya sebesar 2 juta barel per hari atau sekitar 2 persen dari permintaan dunia, yang berlangsung dari November hingga akhir 2023.

Lantas, Washington menuduh kelompok itu dan produsen minyak terbesar dunia yakni Arab Saudi, berpihak pada Rusia meskipun ada perang Moskow di Ukraina.

Baca juga: Reaksi Vladimir Putin Setelah Eropa Batasi Harga Minyak Rusia Maksimal 60 Dolar AS Per Barel

Di sisi lain, OPEC Plus berpendapat bahwa pemangkasan tersebut dilakukan karena prospek ekonomi yang lebih lemah.

Sementara itu, harga minyak telah menurun sejak Oktober lalu karena pertumbuhan ekonomi China dan global yang lebih lambat serta suku bunga yang lebih tinggi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat