androidvodic.com

Hippindo Tak Khawatir dengan Persaingan Penjualan di Sosial Commerce - News

Laporan Wartawan News, Ismoyo

News, JAKARTA - Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) tidak khawatir keberadaan social commerce, seperti TikTok Shop yang disebut menjadi ancaman bagi UMKM serta para pelaku usaha retail.

Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan, hal tersebut sah-sah saja.

Asalkan, social commerce ini mampu menjaga keaslian produk (original) hingga tidak merangkap sebagai penjual, alias hanya sebagai e-commerce.

Baca juga: TikTok Shop Dituding Ancam UMKM Lokal, Berikut Pendapat Para Pengamat Ekonomi Digital

Diketahui sekarang ini muncul fenomena digabungkannya platform e-commerce dengan sosial media.

Fenomena tersebut terjadi di Tiktok dengan nama program project Social commerce atau Project S, yang sebelumnya disebut-sebut akan masuk ke Indonesia.

"Sebenarnya asal e-commerce (atau pun social commerce) fokus selaku mall online yang menjaga produk yang dijual sudah sesuai peraturan, bila impor-impornya legal, bayar pajak resmi, standarisasi ada, mereknya asli, dan tidak merangkap sebagai seller tapi hanya sebagai ecomerce, maka harusnya tidak masalah," ungkap Budihardjo kepada Tribunnews, Selasa (12/9/2023).

Terkait dampak kepada pelaku usaha retail, ia pun mengungkapkan bahwa tak sedikit pula yang melakukan penyesuaian dengan perkembangan zaman.

Dalam hal ini, para pelaku bisnis khususnya retail juga mengadopsi atau melakukan penjualan di e-commerce maupun social commerce.

"Ada plus minusnya terkait adanya social commerce, yang pasti kami sektor offline selalu update mengikuti teknologi," papar Budihardjo.

Dirinya pun mendukung penuh adanya social commerce jika pada prinsipnya turut membantu mengakselerasi penjualan produk-produk lokal.

"Kalau membantu menjual produk dan brand lokal maka sangat baik," pungkas Budihardjo.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, banyak pelaku UMKM dari berbagai sektor yang mengeluh padanya karena kalah saing di social commerce.

Zulhas menyebut, social commerce bisa mengidentifikasi preferensi dari konsumennya, kemudian diarahkan ke produk mereka sendiri.

"Social commerce itu bahaya juga. Dia bisa mengidentifikasi pelanggan dengan big datanya. Ibu ini suka pakai bedak apa, suka pakai baju apa," ujarnya.

"Nanti yang produk dalam negeri begitu masuk iklan di social commerce, bisa sedikit (munculnya, red). Yang produk dia (hasil produksi social commerce tersebut) langsung masuk ke ibu-ibu yang teridentifikasi dan terdata," sambung Zulhas.

Maka dari itu, ia menegaskan social commerce harus ditata regulasinya karena kalau tidak, pelaku UMKM Tanah Air bisa mati.

Untuk tambahan informasi, salah satu poin dalam revisi Permendag 50/2020 juga disebutkan bahwa marketplace tidak boleh menjadi produsen alias menjual produknya sendiri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat