androidvodic.com

Pemilu Inggris: Akankah Krisis Dana Publik Bidani Pergantian Kekuasaan? - News

Ragam survei jelang pemilihan legislatif meramalkan tumbangya 14 tahun kekuasaan kelompok konservatif alias Tory di Inggris dan kembalinya Partai Buruh dengan mandat mayoritas.

Kekecewaan terbesar pemilih bersumber pada kinerja ekonomi pemerintah di London. Menurut jajak pendapat Pew Research Center, hanya 22 persen pemilih yang saat ini menilai positif kondisi perekonomian. Bahkan di kalangan pemilih Partai Konservatif, kepercayaan pada kinerja ekonomi hanya berkisar 27 persen, dibandingkan 75 persen pada 2017 silam.

Sentimen warga seharusnya menjadi tamparan bagi partai yang selama ini membangun reputasi sebagai jangkar pertumbuhan. Ironisnya, di tengah pergulatan keuangan yang dialami sebagian penduduk, Perdana Menteri Rishi Sunak berpegang pada perbaikan data ekonomi dalam beberapa bulan terakhir.

"Setelah tahun-tahun sulit yang dialami negara ini, kini segalanya mulai terasa lebih baik,” kata dia pada bulan Mei. "Kepercayaan telah dipulihkan pada perekonomian dan di penjuru negeri.”

Perekonomian Inggris lolos dari resesi pada kuartal pertama tahun 2024, dengan pertumbuhan sebesar 0,7%. Inflasi juga telah turun seperti yang diniatkan Bank of England ke kisaran 2 persen untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Sinyal positif itu memperkuat ekspektasi akan turunnya suku bunga acuan pada pertengahan tahun ini.

Andrew Goodwin, analis Oxford Economics, membenarkan bahwa ekonomi telah kembali ke jalur pertumbuhan. "Dalam konteks beberapa tahun terakhir, perekonomian berjalan cukup baik,” katanya kepada DW. "Ada pertumbuhan yang berkelanjutan, meskipun tidak pada kecepatan yang biasanya Anda lihat pada tahap awal pemulihan.”

Turunnya daya beli

Meski demikian, geliat pertumbuhan cendrung diabaikan dalam pemilu kali ini. "Kebijakan ekonomi cenderung tidak terlalu menarik bagi pemilih, dan partai-partai politik sebagian besar fokus pada isu-isu lain,” ujar Goodwin. "Namun, tekanan biaya hidup dan pemangkasan bantuan sosial merupakan dua faktor utama di balik keinginan pemilih untuk melakukan perubahan.”

Creon Butler, ekonom kepala di wadah pemikir Chatham House, meyakini inflasi dan menipisnya daya beli masyarakat sebagai faktor utama dalam pemilu. Pemotongan dana sosial dan kesehatan yang dilakukan pemerintahan konservatif sejak era David Cameroon pada 2010, dan dilanjutkan oleh PM Rishi Sunak sebagai mantra bagi pemulihan ekonomi.

"Masyarakat merasakan sendiri konsekuensi pemangkasan anggaran jaminan kesehatan nasional dan berbagai layanan lain, mulai dari kepolisian hingga pemerintahan daerah, perbaikan jalan raya dan sebagainya,” katanya kepada DW.

"Jadi apa yang masyarakat lihat adalah konsekuensi dari buruknya kinerja perekonomian, yang berarti pemerintah tidak punya uang untuk membiayai layanan publik.”

Salah satu tugas terbesar pemerintahan berikutnya adalah memastikan pendanaan publik yang mencukupi. Sebuah studi baru-baru ini oleh Institute for Fiscal Studies di Inggris, memperkirakan bahwa anggaran investasi di sektor publik akan menurun dari perkiraan semula yakni 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto, PDB, pada tahun ini menjadi 1,8 persen pada 2028.

"Saya kira masyarakat belum mendengar cerita lengkap dari partai-partai politik tentang pilihan sulit yang harus kita ambil,” kata Butler.

"Konsekuensi dari lemahnya perekonomian, khususnya pertumbuhan produktivitas, belum dijabarkan kepada publik sejauh yang diperlukan untuk memotivasi pengambilan keputusan sulit oleh pemerintah,” katanya.

Goodwin setuju. "Kendati kebijakan fiskal setelah pemilu masih bisa diperdebatkan, kedua partai terbesar umumnya mengabaikan kabar buruk yang harus diwariskan kepada pemerintahan berikutnya,” katanya.

Apa solusi Partai Buruh ?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat