androidvodic.com

Akademisi: Pendapatan dan Pendidikan Juga Punya Pengaruh Tidak Langsung pada Stunting - News

News, JAKARTA - Survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menunjukkan produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia.

Akan tetapi pendidikan dan pendapatan yang mendorong terjadinya stunting dan PTM di Indonesia.

Survei terkait “Meneropong Fenomena Stunting dan PTM dalam Bingkai Kebijakan Cukai yang Berkeadilan dan Berkelanjutan ini dilakukan untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan PTM.

Baca juga: Wapres: Angka Stunting di Bali Turun Hingga 4,65 Persen, Lewati Target Nasional

Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada 1.600 responden yang berada di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.

Pada stunting, pendapatan juga memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan balita stunting melalui sanitasi. Selain itu, pada PTM, pendapatan dan pendidikan memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia yang masing-masing melalui aktivitas fisik dan pola makan-minum, terutama makanan dan minuman berpemanis.

Direktur PPKE FEB UB Candra Fajri Ananda mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.

Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia. "Hasil kajian juga menyatakan konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM di Indonesia," kata dia dalam keterangannya, Rabu (18/10/2023).

Sementara itu anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo mengatakan, dalam RAPBN 2024 sudah dimasukkan target penurunan kemiskinan ekstrem dan ada tiga hal pokok yang utama, yakni menjaga inflasi, menurunkan kemiskinan ekstrem maksimal satu persen dan penanganan stunting.

Baca juga: Audiensi ke BKKBN, Wakil Bupati Sumbawa Barat Sebut Makanan Cepat Saji Jadi Penyebab Stunting

“Penanganan stunting ini menjadi target dan menurut saya ini harus diakselerasi, kami menginginkan penurunan yang cepat dalam penanganan stunting,” ujarnya.

Di sisi lain, Asisten Deputi Bidang Perekonomian Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Kemenko Perekonomian, Roby Arya Brata berpendapat tudingan penyebab stunting dikarenakan rokok harus dilihat secara utuh.

“Kalau dikaitkan dengan stunting sebabnya multi faktor, tetapi kita sudah berhasil menurunkan angka stunting meskipun masih jauh dari target. Karena itu, harus ada riset yang tepat dan komprehensif yang dapat mengakomodir semua kepentingan,” kata Roby.

Roby juga menampik anggapan kenaikan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya semakin tinggi cukai belum tentu penerimaan negara naik, yang ada malah rokok ilegal yang naik.

Roby mencontohkan, adanya penolakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau sebagaimana mandat Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, itu akan mempengaruhi industri rokok.

“Kami sedang menyiapkan kebijakan Peraturan Presiden yang klausulnya menyatakan menteri tidak bisa membuat peraturan seenaknya tanpa sepengetahuan presiden. Kemudian lintas sektor kementerian/lembaga semuanya masuk. Pasalnya, sebelumnya ada menteri yang membuat peraturan menteri tanpa koordinasi antar kementerian/lembaga,” ujar Roby.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengatakan diperlukan keseimbangan kebijakan yang mengatur rokok dengan memerhatikan aspek kesehatan dan aspek ekonomi.

Menurut Edy, aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT) menjadi tempat bergantung bagi petani tembakau, petani cengkeh, juga lainnya. “Dan, IHT itu menggerakkan industri lainnya. Karena itu, harus bijaksana dalam melahirkan kebijakan yang tepat dan berkeadilan,” kata Edy.(Kontan)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat