androidvodic.com

JPPR: Proses Penetapan DPT yang Dilakukan KPU Masih Banyak Masalah, Bisa Mengarah Pelanggaran Pemilu - News

Laporan Wartawan News, Mario Christian Sumampow

News, JAKARTA -  Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menemukan beberapa persoalan yang dapat mengarah ke pelanggaran pidana pemilu terkait proses penetapan daftar pemilih tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

"Saya juga perlu mengingatkan bahwa terdapat beberapa ketentuan pidana pemilu dalam proses pemutakhiran daftar pemilih ini agar menjadi perhatian bagi KPU dan jajarannya setelah proses penetapan DPT," ujar Koordinator Nasional JPPR Nurlia Dian Paramita kepada wartawan, Senin (10/7/2023).

Mita, sapaan akrabnya, membeberkan berapa permasalah dalam penetapan DPT itu.

Persoalan penduduk yang meninggal, misalnya, dimana data itu masih terdaftar dalam DPT dikarenakan tidak memiliki akta kematian.

Baca juga: Bawaslu Harap KPU Secepatnya Adakan Forum Tripartit untuk Bahas 4 Juta DPT Non-KTP Elektronik

Hal ini, lanjut Mita, karena KPU dan jajarannya dalam mendata penduduk yang meninggal berbasis administratif atau dokumen.

Sedangkan dalam prakteknya banyak penduduk yang meninggal tidak mengurus akta kematian.

Di samping itu, JPPR juga mengingatkan untuk KPU mengecek kembali apakah proses pemutakhiran daftar pemilih telah optimal atau tidak terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti masyarakat adat, apartemen dan tempat-tempat khusus seperti panti sosial, dan rutan.

"Seharusnya KPU tetap melakukan serangkaian upaya untuk mengakomodir kelompok-kelompok rentan tersebut agar memiliki TPS khusus atau penambahan TPS," tuturnya.

Lebih lanjut, Mita juga mendorong agar akses data pemilih diberikan KPU kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, supaya pengawasan penyusunan daftar pemilih bisa maksimal.

“KPU harus memberikan akses yang seluas-luasnya minimal kepada Bawaslu. Termasuk dalam memberikan salinan DPT yang telah ditetapkan,” harapnya.

Oleh karena itu, dia mewanti-wanti KPU agar berhati-hati dalam penyusunan DPT Pemilu 2023, agar tidak terindikasi dugaan pelanggaran.

“Saya juga perlu mengingatkan bahwa terdapat beberapa ketentuan Pidana Pemilu dalam proses pemutakhiran daftar pemilih ini agar menjadi perhatian bagi KPU dan jajarannya setelah proses penetapan DPT,” ucapnya.

Mengenai dugaan pelanggaran pidana Pemilu, dalam UU 7/2017 tentang Pemilu termuat dalam beberapa pasal yang diantaranya sebagai berikut:

- Pasal 488: Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan Pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak RP 12 juta.

- Pasal 489: Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalamPasal 206, Pasal 207, dan Pasal 213, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta.

- Pasal 512: Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang tidak menindaklanjuti, temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Keluarahan/Desa, dan/atau Panawaslu LN dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan; penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap; daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, dan/atau rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.

- Pasal 513: Setiap anggota KPU Kabupaten/Kota yang sengaja tidak memberikan salinan daftar pemilih tetap kepada partai politik peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (5) dipidana dengan pidana paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat