androidvodic.com

Gugatan Batas Usia di MK, Pengamat Soroti Masifnya Judicialisasi Politik Dalam Pengaturan Pemilu - News

Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

News, JAKARTA - Pengamat sekaligus pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini menyoroti soal masifnya judicialisasi politik dalam pengaturan pemilu Indonesia.

Hal ini terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang bakal memutus perkara batas usia capres-cawapres, pada Senin, 16 Oktober 2023 mendatang.

"Jadi apa yang terjadi hari ini, kalau disebut istilah ketatanegaraan atau kepemiluannya, kita menghadapi masifnya judicialisasi politik dalam pengaturan pemilu kita," kata Titi, dalam diskusi publik bertajuk 'MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan?', di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (15/10/2023).

Titi mengatakan, kondisi saat ini menunjukkan hakim dan peradilan ditarik masuk sangat dalam untuk terlibat dalam pengaturan pemilihan umum (pemilu).

"Hakim dan peradilan ditarik masuk sangat dalam untuk terlibat di dalam pengaturan pemilu, yang akhirnya berdampak pada potensi menimbulkan ketidakpastian pengaturan pemilu itu sendiri," ungkap Titi.

Terkait kondisi tersebut, Titi menjelaskan, hal itu disebabkan oleh pembentuk Undang-Undang (UU) yang menciptakan kebuntuan bagi para pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengaturan pemilu.

"Mengapa judicialisasi politik pemilu 2024 sedemikian rupa masifnya? Ternyata itu dikontribusikan oleh pembentuk UU sendiri atau dalam hal ini secara eksplisit boleh disebut 'oleh pemerintah'," kata Titi.

"Karena kenapa? ketika 2019 kita banyak persoalan, ada evaluasi yang membutuhkan perbaikan aturan main, kemudian DPR mempersiapkan RUU Pemilu, tapi kan pemerintah menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah sampai tahap baleg di DPR. 9 Maret 2021, pemerintah bersama DPR dan DPD sepakat mencabut RUU Pemilihan Umum dari prolegnas 2021," sambungnya.

Sehingga, lanjutnya, penolakan dari pihak pembuat UU tersebut mengharuskan para pegiat pemilu mengalihkan advokasi berkaitan dengan pengaturan pemilu ke MK sebagai peradilan yang berwenang atas hal tersebut.

"Akhirnya apa? Para pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengaturan pemilu, dan harus diakui termasuk Perludem, itu mengalihkan ruang advokasinya dari gedung parlemen ke ruang-ruang persidangan di MK," tutur Titi.

"Jadi satu sisi sebagai pegiat pemilu dan demokrasi, kami sering banyak menuntut MK ini melakukan aktivisme di tengah kebuntuan yang kita hadapi karena kita tidak bisa menyalurkan itu ke pembentuk UU. Karena pembentuk UU menolak merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada," ungkapnya.

Oleh karena itu, menurut Titi, karena MK memiliki kewenangan judicial review, aktivisme MK dinanti untuk memperkuat pengaturan pemilu yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi.

"Tetapi MK jangan sampai tergelincir. Supaya MK tidak tergelincir, MK harus mampu menahan diri. Itulah yang disebut dengan judicial restraint," tuturnya.

Sebagai informasi, perihal MK bakal memutus perkara batas usia capres-cawapres ramai diperbincangkan publik karena diduga mengandung unsur politis.

Baca juga: Pengamat Sebut Kasus Hukum Airlangga Sarat Kepentingan Politis

Para pemohon memohonkan MK menguji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang mengatur batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun.

Dalam hal ini, satu di antara para pemohon, yakni untuk perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Dedek Prayudi, yang merupakan pihak Partai Solidaritas Indonesia (PSI), meminta MK menurunkan batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun.

Permohonan penurunan batas usia itu diduga disinyalir untuk memuluskan langkah Wali Kota Solo, Gibran Rakabumingraka untuk maju sebagai cawapres pendamping capres Prabowo Subianto, di Pilpres 2024.

Terlebih, publik menyoroti adanya hubungan keluarga antara Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran, putra sulung dari Presiden Jokowi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat