androidvodic.com

Masifnya Jual Beli Suara hingga Netralitas ASN Dinilai Masih Bakal Jadi Tantangan di Pilkada 2024 - News

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

News, JAKARTA - Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menyoroti beberapa permasalahan yang masih akan dihadapi di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 mendatang.

Titi mengatakan, persoalan pertama, yakni praktik jual beli suara dan politik uang.

Baca juga: Zulhas: PAN Terus Beriringan dengan Gerindra dalam Pilkada 2024

Di antara praktik politik uang itu, katanya, bisa terjadi dalam bentuk mahar politik ataupun sogokan kepada pemilih.

"Saya memperkirakan pilkada 2024 akan menghadapi sejumlah tantangan dan permasalahan yang tak jauh berbeda dengan pilkada-pilkada terdahulu. Meliputi, pertama, masifnya jual beli suara atau politik uang mulai dari praktik mahar politik maupun sogok kepada pemilih," kata Titi, saat dihubungi Tribunnews, pada Jumat (10/5/2024).

Kemudian, Titi menyebut, adanya problem terkait ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) serta kepala desa dan perangkat desa. Selain itu, masalah ketidakprofesionalan dan gangguan integritas penyelenggara pemilu.

Baca juga: Ini Jumlah Dukungan yang Harus Diserahkan Bakal Pasangan Calon Perseorangan Pilkada 2024 ke KPU

Selanjutnya, ia menyebut, kerawanan dalam persoalan validitas dan akurasi data pemilih khususnya untuk pilkada di Papua, Papua Barat, dan provinsi pemekarannya.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga mengatakan, KPU dan Bawaslu harus mengantisipasi konflik dan benturan massa yang bisa saja terjadi.

"Khususnya perselisihan antarsuku di daerah pegunungan Papua akibat penggunaan sistem dan noken dan ketidakpuasan pada kinerja penyelenggara pemilu," jelasnya.

Sementara itu, Titi menyampaikan sejumlah hal yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan PHPU Pilpres, pertama, mengenai penegasan bahwa peradilan konstitusi itu bukan keranjang sampah atau ujung dari semua masalah proses jalannya pemilu di Tanah Air.

"MK memberikan penekanan pada fungsionalisasi dan efektivitas sistem keadilan pemilu yang ada dalam penyelenggaraan tahapan pemilu termasuk pengawasan oleh DPR baik berupa hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat, yang seharusnya berjalan baik sehingga tidak semua masalah berujung di MK," jelasnya.

Kemudian, ia menjelaskan, terkait efek petahana terhadap keadilan kompetisi. Dimana menurut MK, mutlak diperlukan kerelaan petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat dipersepsikan oleh masyakarat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam pemilu.

Kata Titi, MK juga menegaskan dalam rangka perbaikan tata kelola penyaluran bansos ke depan, khususnya penyaluran bansos yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu perlu diatur secara jelas menyangkut tata cara penyaluran, baik waktu, tempat, maupun pihak-pihak yang dapat menyalurkannya.

Baca juga: Kaesang Pangarep Ramaikan Bursa Pilkada Kota Bekasi, Ini Respons DPC PDIP

"Sehingga tidak ditengarai sebagai tindakan yang dapat dimaknai sebagai bantuan bagi kepentingan elektoral tertentu," jelasnya.

"MK mengkhawatirkan praktik demikian akan menjadi preseden lantas diikuti oleh para petahana atau pejabat publik pengelola APBD dalam perhelatan pemilukada kelak," sambung Titi.

Titi kemudian menyinggung soal respons MK mengenai masalah efektivitas dan kredibilitas Bawaslu dalam menangani pelanggaran pemilu. 

"MK menilai bahwa dalam menarik kesimpulan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu terhadap suatu peristiwa, Bawaslu perlu menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut, maupun pisau analisis yang baku dan memperhatikan berbagai aspek yang menjadi unsur adanya suatu pelanggaran pemilu baik yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah masa kampanye," jelasnya.

Selain itu, Titi menyoroti pendapat MK yang meminta keberlanjutan SIREKAP di Pilkada. 

"Untuk itu, sebelum Sirekap digunakan perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri. Di samping itu untuk menjaga objektivitas dan validitas data yang diunggah, menurut Mahkamah perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu," kata Titi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat