androidvodic.com

Irfan Idris Tekankan Pentingnya Kontra Narasi Terhadap Ancaman Intoleransi Sarat Kepentingan Politik - News

News, BOGOR - Menghadapi tahun politik 2024, tantangan terbesar bukan hanya terletak pada persaingan antar calon atau partai politik, tetapi juga pada potensi polarisasi masyarakat.

Narasi-narasi eksklusif dan provokatif dapat menjadi pemicu perpecahan di tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia. 

Membahas potensi polarisasi dan segregasi horizontal di masyarakat menjelang Pemilu 2024, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. Muh. Irfan Idris M. Ag., menekankan pentingnya pengerahan kontra narasi terhadap ancaman intoleransi yang sarat kepentingan politik.

“Seperti halnya berhadapan dengan ombak yang menerjang, kita bisa rasakan semakin bertambahnya urgensi mempublikasikan narasi inklusif dan moderat karena gelombang Pemilu sudah di depan mata,” ungkap Irfan di Bogor, Rabu (31/1/2024).

Menurutnya, di era globalisasi dan informasi saat ini, tidak ada lagi batasan ruang dan waktu, terutama di dunia maya. Oleh karena itu, diperlukan narasi-narasi yang inklusif untuk melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa mempersoalkan latar belakang atau golongan tertentu.

Irfan menjelaskan pentingnya sebaran narasi positif menjadi semakin nyata di tahun politik. Ia menambahkan bahwa dampak dari kontra narasi yang selama ini secara organik datang dari berbagai tokoh, terbukti dapat menciptakan narasi yang mencerahkan masyarakat dan sesuai dengan ideologi Pancasila. 

“Meskipun begitu, saya menyadari bahwa masih ada kelompok yang berusaha mengganti ideologi negara dengan konsep Khilafah. Yang jarang kelompok radikal pahami, sesungguhnya Indonesia telah menerapkan syariat Islam, meskipun tidak memformalkannya,” tutur Irfan.

Irfan mengatakan, poin krusial dalam upaya menjaga kerukunan adalah selalu memberikan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal.

Dirinya mengingatkan bahwa narasi intoleran tersebut seringkali menanamkan keraguan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa. 

Perlu dipahami bahwa perbandingan antara Pancasila dan kitab suci adalah komparasi tidak tepat, mengingat Indonesia mengakui enam agama yang memiliki kitab suci masing-masing. Menurutnya, hal ini bukanlah suatu perbandingan yang relevan.

“Komparasi antara Pancasila dengan kitab suci merupakan salah satu bentuk penanaman keraguan terhadap masyarakat. Kitab suci tentu bukan perbandingan sesuai terhadap Pancasila, begitupun sebaliknya. Jika ingin membandingkan Pancasila, yang merupakan buah pikiran dari manusia, maka bandingkanlah Pancasila dengan ideologi negara lainnya yang juga lahir sebagai produk manusia,” urai Irfan.

Dalam konteks kontra-radikalisasi, Irfan menekankan peran Undang-Undang No. 5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, khususnya Pasal 43, yang membahas tentang kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi.

Kontra-narasi menjadi strategi penting dalam penerapan kontra-radikalisasi, dengan fokus pada pencerahan masyarakat, pemerataan narasi inklusif, dan penguatan kembali narasi damai.

Mengenai pandangannya terhadap polarisasi dalam kontestasi politik Pemilu 2024, Irfan menyebutkan agar tetap waspada ketika menggunakan media sosial.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat