androidvodic.com

Terkait Politik Uang, Bawaslu Sebut UU Pilkada Lebih Progresif ketimbang UU Pemilu - News

Laporan Wartawan News, Reza Deni

News, JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan mengatakan ada perbedaan antara regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada terkait kasus politik uang.

Menurutnya, UU Pilkada lebih progresif ketimbang UU Pemilu.

"Untuk subjek pelaku tindak pidana money politik, di UU Pilkada lebih mudah, yakni setiap orang. Siapa pun yang melakukan money politics. Siapa pun yang memberi, mereka bisa dijerat," ungkapnya di Kantor Bawaslu RI, MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).

Untuk UU Pemilu, kata Abhan, subjek yang bisa dijerat pidana dalam kasus politik uang hanya penerima, yaitu partai politik, sementara pemberi tidak dijerat pidana.

Di sisi lain, hukuman yang dijerat dalam kasus politik uang adalah hukuman pidana. 

"Maka itu Bawaslu tidak bisa memberi sanksi administratif kepada peserta pemilu yang bersangkutan kasus politik uang," tambahnya.

Dia memberi contoh pasal 228 UU Nomor 7 yang secara umum bunyinya melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan presiden atau wakil presiden.

Baca: Ada Perubahan Ketentuan di Pendaftaran CPNS, Ini Syarat-syaratnya

Dari pasal tersebut, Abhan mengatakan harus ada proses dulu di pidana, dan Bawaslu tidak menindak secara administratif jika putusan pidananya tidak ada.

"Sanksi administratif baru bisa dikenakan setelah putusan pidana yang punya kewenangan hukum tetap," ungkap Abhan. 

Persoalannya dalam pasal 228 tersebut, Abhan melanjutkan, ditentukan adanya larangan tetapi sanksi pidananya tidak diatur seperti apa.

"Misalnya kasus Andi Arief, itu problemnya mau diancam apa kita enggak tahu," lanjutnya.

Abhan memungkasi jika di dalam problem hukum ada persoalan, maka harus ada gerakan moral sebagai caleg bersih yang mengampanyekan anti-politik uang.
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat