androidvodic.com

Mahkamah Konstitusi Uji Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - News

Laporan Wartawan News, Glery Lazuardi

News, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menangani uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sidang perkara teregistrasi Nomor 27/PUU-XVII/2019 itu dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra digelar di Ruang Sidang Panel MK, Senin (8/4/2019).

Para pemohon, yaitu para advokat dan pengurus Peradi Jakarta Selatan, yakni Octolin Hutagalung, Nuzul Wibawa, Hernoko D. Wibowo, dan Andrijani Sulistiowati.

Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 21 UU Tipikor tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan multitafsir.

Pada permohonannya, pemohon menilai Pasal 21 UU Tipikor sepanjang frasa “setiap orang “bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon menilai penerapan ketentuan dan pengertian “setiap orang” dalam pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memandang siapa orang perorangan yang dimaksud, apakah termasuk seseorang yang berprofesi sebagai advokat sehingga seakan membungkam advokat agar melakukan pembelaan kepada kliennya secara pasif. 

Baca: Kampanye di Karawang, Maruf Amin Ajak Warga Nyanyi dan Berdoa

Menurut pemohon, ketentuan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dikarenakan seorang advokat seseungguhnya diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya dengan iktikad baik, tetapi kemudian dibatasi oleh Pasal 21 UU Tipikor tersebut.

Baca: Wajah Prabowo Berseri-seri Usai Satu Jam Bertemu Sri Sultan dan GKR Hemas di Bangsal Kepatihan

Adapun, Pasal 21 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana ppenjara palig singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Setelah mendengarkan permohonan pemohon, hakim konstitusi Aswanto memberikan beberapa pandangan perkara terkait UU Tipikor telah pernah diuji dan diputus MK dalam beberapa putusan sebelumnya.

Untuk itu, kedudukan para pemohon pada perkara itu belum terlihat kerugian konstitusional yang dialami pra advokat atas keberlakuan norma tersebut.

Baca: Mendaki Gunung Arjuno Lalu Hilang Jejaknya Selama 6 Bulan, Faiqus Ditemukan Tinggal Tulang-Belulang

Sehingga, perlu bagi para pemohon untuk melakukan elaborasi dengan beberapa putusan terdaulu terkait norma tersebut sehingga lebih memudahkan MK untuk memahami perkara tersebut karena memang masalah konstitusional.

Sementara itu, hakim konstitusi lainnya, Saldi Isra meminta agar para pemohon memberikan argumentasi terkait masalah konstitusionalitas yang cukup rinci dan berbeda mengingat UU Tipikor telah pernah diujikan di MK pada masa-masa sebelumnya.

”Apabila belum ada keterhubungan pertentangan UU a quo dengan UUD 1945, dan tidak jelasnya hubungan keduanya dapat saja nanti permohonan para Pemohon menjadi kabur,” pandangan Saldi, seperti dilansir laman MK.

Selain itu, dia meminta agar para pemohon mekonstruksikan secara jelas alasan permohonan tersebut memiliki permasalahan konstitusional berbeda dengan permohonan yang ada sebelumnya.

“Jadi, tidak cukup dengan perbedaan pasalnya saja,” tegas Saldi.

Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyampaikan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 22 April 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang berikutnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat