androidvodic.com

MK: Keputusan DKPP dapat Dijadikan Objek Gugatan di Peradilan TUN - News

News, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Evi Novida Ginting Malik dan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Arief Budiman dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan pada Selasa (29/3/2022).

Dalam pertimbangannya MK menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara.

Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang Pengucapan Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 mengatakan Mahkamah juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior. 

Suhartoyo mengatakan Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa bersifat final dan mengikat dalam pasal 458 ayat 13 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 yang dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

Baca juga: Putusan Sebelumnya Jadi Pertimbangan MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida dan Arief Budiman

"Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP tersebut dan keputusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada pengadilan TUN," kata Suhartoyo di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/3/2022).

Oleh karena itu, lanjut dia, terhadap putusan pengadilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dengan kata lain, kata dia, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN. 

"Dengan demikian dalam konteks ini, Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP," kata Suhartoyo.

Ketua MK Anwar Usman kemudian membacakan amar putusan terkait permohonan tersebut.

"Amar Putusan. Mengadili. Satu. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Anwar.

Kedua, lanjut Usman, MK menyatakan ketentuan pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut, kata Usman, sepanjang tidak dimaknai, Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

Ketiga, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

"Empat. Menolak permohonan para Pemohon selain dan sebagainya," kata Usman.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat