androidvodic.com

Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pertanyakan Urgensi RUU Kesehatan - News

Laporan Wartawan Tribunnews Choirul Arifin

News, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan telah disahkan sebagai inisiatif DPR pada Februari 2023 lalu.

Selanjutnya, RUU ini akan memasuki tahapan pembahasan di DPR dengan melibatkan perwakilan pemerintah yang ditunjuk oleh Presiden.

Terdapat sejumlah isu yang akan diatur dalam RUU Omnibus Kesehatan, termasuk isu di sektor kedokteran, keperawatan, kebidanan, sistem jaminan sosial nasional (SJSN), kefarmasian, dan kekarantinaan kesehatan.

Selain isu tersebut, RUU ini juga akan mengatur mengenai penanganan zat adiktif. Pada RUU tersebut produk tembakau atau rokok dimasukkan dalam satu kategori yang sama sebagai Zat Adiktif bersama dengan produk lain seperti narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol.

Dalam perjalanannya, RUU ini menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai pihak di sektor kesehatan.

Misalnya, RUU ini didemo oleh ratusan dokter dan organisasi profesi kesehatan.

Pada demo tersebut, para dokter dan anggota organisasi profesi kesehatan menilai ada hal yang dapat merugikan masyarakat, seperti proses yang tidak transparan, tidak ada naskah akademik, dan ada upaya liberalisasi sektor kesehatan nasional, termasuk penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi, dan surat tanda registrasi (STR).

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Adib Khumaidi, Sp.Ot, menjelaskan saat ini belum ada urgensi untuk menyusun RUU Omnibus Law Kesehatan.

“Problema kesehatan saat ini cukup dilakukan dengan implementasi dari undang-undang yang berlalu. Belum ada urgensinya untuk melaksanakan RRU ini,” ujar Adib dalam pernyataan tertulisnya, Rabu, 22 Maret 2023.

Adib juga memandang bahwa draf RUU Omnibus Law Kesehatan sangat problematik. Salah satunya terkait dengan sanksi pidana praktik kedokteran.

Padahal, sanksi ini sudah dihapuskan sebelumnya melalui keputusan mahkamah konstitusi tahun 2007. Dengan masih diaturnya sanksi pidana praktik kedokteran, maka dapat muncul potensi defensive medicine yang berpotensi meningkatkan biaya kesehatan.

Adib menyatakan, IDI akan terus berkoordinasi dengan Diretktorat Tenaga Kesehatan di Kementerian Kesehatan untuk membahas salah satu poin dalam draf RUU ini yang mengatur upaya untuk mempermudah sistem pendidikan calon dokter spesialis dan spesialis konsultan.

Baca juga: Aksi di Depan Gedung DPR, Partai Buruh Desak DPR RI Hentikan Pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan

Padahal, ia menekankan yang menjadi permasalahan dari poin tersebut adalah distribusi dokter yang belum merata di Indonesia.

“Yang jadi masalah ada distribusi yang tidak merata. Distribusinya masih banyak berpusat di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Mungkin Sebagian Jabodetabek, termasuk Tangerang, Bekasi, dan sebagainya. Distribusinya masih terkonsentrasi di situ,” ujar Adib. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat