androidvodic.com

AMAN, KPA dan Walhi Soroti Kemunduran Demokrasi dan Ancaman Masa Depan Agenda Kerakyatan - News

Laporan Reporter News, Reza Deni

News, JAKARTA - Pemilu sejatinya adalah sarana bagi kedaulatan rakyat untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa secara demokratis. 

Namun, Pemilu 2024 yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang berasal dari suara rakyat berakhir buruk akibat berbagai akrobat politik dan dugaan kecurangan yang terjadi.

Baca juga: Hasto PDIP: Yang Tertidur Saat Demokrasi Terancam, Akan Bangun di Alam Kediktatoran

Hal tersebut mengemuka saat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Walhi menyatakan pernyataan sikap politik.

"Akhirnya berbagai institusi itu tunduk dan melayani kepentingan elektoral oligarki sekaligus menjustifikasi kecurangan Pemilu. Tujuannya jelas, melanjutkan kekuasaan untuk menguasai sumber-sumber agraria," kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi saat konferensi pers di kantornya, Senin (18/3/2024).

Situasi Struktural Pemenuhan Hak dan Perlindungan Masyarakat Adat, Agraria dan Lingkungan Hidup

Rukka mengatakan, dalam 10 tahun terakhir kondisi Masyarakat Adat, petani, buruh tani, nelayan dan perempuan semakin memburuk. Agenda-agenda seperti pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat melalui pengakuan wilayah adat, penyelesaian konflik agraria dan pemulihan lingkungan mundur jauh ke belakang. 

Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan di sektor agraria-SDA menjadi sinyal terbaru bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa selama satu dekade terakhir ini sejatinya tidaklah bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang telah dijamin oleh Konstitusi. 

"Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan. AMAN mencatat sejak 2014-2022 terjadi 301 kasus yang merampas 8,5 juta Ha wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga Masyarakat Adat," ujarnya.

"Penyelesaian konflik agraria dengan prinsip pemulihan dan pengakuan hak atas tanah rakyat yang selama ini memperjuangkan keadilan agraria adalah satu dari banyak pekerjaan utama reforma agraria. Alih-alih dapat menyelesaikan konflik dan menjalankan reforma agraria sesuai janji politiknya. Presiden Jokowi dengan berbagai kebijakannya justru telah membawa Indonesia ke dalam krisis agraria yang semakin akut," tambahnya.

Selama sembilan tahun terakhir (2015-2023), KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat. 

Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria. 

"Situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya. Dimana pada masa pemerintahan SBY, terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas 5,7 juta hektar dan korban dan terdampak sebanyak 900 ribu rumah tangga petani. Terdapat 1.354 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 553 orang mengalami kekerasan, 110 orang tertembak dan 70 orang tewas," kata Sekjen KPA Dewi Kartika.

Baca juga: PKB Tegaskan Tetap Dorong Hak Angket: Kemauan Politik Kami untuk Benahi Dugaan Carut-marut Demokrasi

Sementara dalam kurun waktu 2014-2023, WALHI mencatat 827 pejuang lingkungan mengalami peristiwa kriminalisasi, intimidasi dan bahkan kekerasan yang mengakibatkan kematian akibat konflik sumber daya alam yang terjadi. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat