androidvodic.com

Sulitnya Membangun Jaringan Telekomunikasi di Papua dan Papua Barat - News

                     Oleh Moch S Hendrowijono, pengamat telekomunikasi, mantan editor Harian Kompas 

Pengamat telekomunikasi, dan mantan editor Harian Kompas Moch S Hendrowijono
Pengamat telekomunikasi, dan mantan editor Harian Kompas Moch S Hendrowijono (Hand-out/Moch S Hendrowijono)

TIDAK  sederhana membangun layanan telekomunikasi di kawasan 3T: terdepan, terluar dan tertinggal, terutama di Papua dan Papua Barat yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan lebat, bukit dan jurang dalam.

Sejak  tahun 2015 hingga 2020 hanya terbangun 1.682 BTS (base transceiver station) di dua provinsi itu, dengan dana sekitaran Rp 2,6 triliun setahun.

Uang itu sumbangan semua operator seluler yang menyisihkan 1,25% dari pendapatan kotor mereka sebagai dana pembangunan USO (universal service obligation), karena operator ogah masuk kawasan yang secara ekonomi tidak potensial. 

Namun program transformasi digital yang digagas Presiden Jokowi mengharuskan pembangunan fasilitas telekomunikasi dipercepat merata di seluruh negeri.

Dari 272 juta penduduk Indonesia, ada 26,5 juta tinggal di daerah 3T yang harus dilayani agar mereka juga mendapat kemajuan dari berbagai manfaat yang disebar lewat transformasi digital.

Pemerintah membangun jaringan serat optik (FO) Palapa, lalu merancang satelit HTS (high throughput satellite) yang akan diorbitkan pada 2023.

Ada rencana membangun 7.904 BTS dalam waktu 10 tahun ke depan, namun Jokowi tidak sabar, harus selesai dalam dua tahun, 2021 – 2022. Termasuk dana USO yang semula Rp 2,6 triliun, dilipatgandakan lewat APBN dan sumber-sumber lain menjadi Rp 17 triliun.

Baca juga: Telkom Membuat Posko Agar Koneksi Internet Tak Terganggu Saat Natal dan Tahun Baru

Sayang, hingga akhir 2021 pembangunan baru mencapai 70 persen. Padahal Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia), satu badan layanan umum (BLU) dari Kementerian Kominfo yang mendapat tugas pembangunan, sudah menambah banyak kontraktor.

Pandemi Covid-19 menjadi penyebab, banyak tenaga kontraktor yang terpapar virus corona sehingga pembangunan tersendat.

Ini pun bukan masalah Bakti sendiri sehingga terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 217 tahun 2020 yang memberi toleransi, proyek bisa dilanjutkan hingga 90 hari pada tahun berikutnya, dan anggaran tidak hangus.

Tetapi itu tidak cukup, kendala di lapangan terutama di dua propinsi tadi, sangat berat, yang tidak ditemui di kawasan lain Nusantara.

                        Hak ulayat    
Hak ulayat masyarakat Papua yang diakui pemerintah, berupa hak lahan mutlak milik adat.

Ketika siapa pun membeli lahan untuk pembangunan, membayar lunas harganya kepada suku, bukan tidak mungkin ada anggota suku yang beberapa waktu kemudian mengklaim tanah itu kembali karena merasa belum mendapat bagian bayarannya.

Baca juga: Telkom Ajak Pelaku Bisnis Tingkatkan Pengalaman Digital Pelanggan di Era Experience Economy

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat