androidvodic.com

Menyikapi Fasilitas Pinjaman Online: Penyelamat atau Bencana Keuangan? - News

Oleh: Wibisana Bagus Santosa

TRIBUNNERS - PERNAHKAH Anda menerima pesan singkat atau panggilan suara dari seseorang yang tidak dikenal yang menggunakan kata-kata kasar atau mendiskreditkan seseorang dengan alasan untuk menagih hutang orang tersebut sementara Anda tidak mengerti/ikut campur dalam hutang tersebut?

Jika ya, maka nomor kontak ponsel Anda masuk dalam database kontak ponsel orang tersebut dan data tersebut dapat diakses oleh individu atau kelompok penagih utang melalui perangkat digital (online). Ada dugaan yang beralasan bahwa informasi tersebut telah digunakan tanpa alasan/izin oleh penyedia pinjaman modal yang menawarkan layanan pinjaman peer-to-peer (P2P) atau pinjaman online (Pinjol).

Baca juga: Awas! Jelang Ramadan Penipuan Pinjol Ilegal Bakal Meningkat, Ini Modusnya

Di era teknologi ini, segalanya terasa mudah. Soal permodalan, dulu masyarakat Indonesia sangat sulit mendapatkan pinjaman, namun sekarang mendapatkan pinjaman sudah sangat mudah. Salah satu yang memfasilitasi hal tersebut adalah dengan adanya platform yang menawarkan layanan pinjaman digital atau Pinjol.
Selama dua tahun terakhir, banyak orang membicarakan fasilitas Pinjol ini. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertujuan untuk memastikan bahwa setidaknya 75 persen penduduk dewasa di Indonesia memiliki akses terhadap layanan lembaga keuangan, dan masyarakat beralih ke layanan fintech untuk mencapai tujuan keuangan mereka.

Berdasarkan definisi dari Fintech Weekly. Teknologi keuangan, yang sekarang lebih dikenal dengan Fintech, adalah suatu bentuk bisnis yang bertujuan menyediakan layanan keuangan dengan menggunakan perangkat lunak dan teknologi modern. Tujuannya jelas. Ini tentang membuat produk keuangan lebih mudah diakses oleh masyarakat dan menyederhanakan proses transaksi.

Namun, banyak yang menganggap fintech sebagai pesaing bank, karena keseluruhan sektornya mirip dengan bank. Jika ditelaah lebih dalam, platform fintech sebenarnya bisa menjadi strategi utama untuk meningkatkan dan mempercepat operasional perbankan melalui kolaborasi dan kemitraan. Fintech dan platform digital menawarkan model bisnis dan solusi alternatif yang membantu pemerintah dan lembaga keuangan lainnya memperluas cakupan penyediaan layanan keuangan yang tepat.

Kehadiran industri fintech yang menawarkan produk keuangan berbasis digital nampaknya membuka pintu baru bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman. Berbeda dengan layanan pinjaman tradisional yang disediakan oleh bank dan koperasi, berbagai fintech menawarkan produk peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman online yang sangat mudah untuk diajukan tanpa persyaratan rumit.
Fintech sangat populer di kalangan milenial karena kemudahan dan kecepatannya, dan diperkirakan akan terus berkembang.

Siapapun bisa menjadi pengguna pinjaman online dan menyelesaikan berbagai permasalahan keuangan hanya dengan menunjukkan dokumen pribadi seperti KTP, KK, NPWP, slip gaji, dll. Dengan fintech, hanya membutuhkan waktu paling lama 24 jam dari awal pengajuan hingga nasabah menerima uang. Karena keunggulan ini, produk keuangan dengan cepat mendapatkan popularitas dan semakin banyak digunakan oleh masyarakat dari semua lapisan masyarakat.

Sayangnya, meski mudah dan praktis, banyak orang yang kurang bijak dalam memanfaatkan produk pinjaman online ini. Faktanya, pinjaman online cenderung memiliki suku bunga lebih tinggi dan jangka waktu pembayaran lebih pendek dibandingkan pinjaman tradisional. Kalau pinjaman online, biaya
administrasinya tidak transparan. Hal ini menghadapkan pelanggan pada risiko harus membayar utang lebih dari yang disepakati semula. Selain itu, nasabah juga harus membayar bunga keterlambatan pembayaran dan denda lainnya, yang mana hal ini tidak adil.

Keberadaan pinjaman online menjadi kontroversi karena rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia. Hal ini membuat peminjam online berisiko terjerumus ke dalam perangkap utang yang sangat parah hingga tidak mampu mencicil. Banyak pemberitaan yang beredar di media yang menggambarkan
berbagai bahaya tidak bisa membayar cicilan pinjaman online. Bahkan, beberapa waktu lalu muncul trending topic #Lindunginasabahfintech yang berisi tentang pengalaman buruk meminjam uang lewat online.

Kasus pinjaman online illegal masih marak terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, OJK (10/3/2024) melaporkan bahwa kredit macet penerima pinjaman (borrower) industry fintech peer to peer lending alias pinjaman online (Pinjol) didominasi anak muda. Sampai dengan Januari 2024, jumlah borrower berusia di bawah 34 tahun memiliki porsi sebanyak 59,47 persen dari total borrower aktif perorangan, jumlah tersebut setara 9,85 juta rekening borrower aktif di industri fintech lending.

Baca juga: Waspada Kasus Penipuan Investasi dan Pinjol Ilegal, OJK dan Gelar Edukasi Perencanaan Keuangan

Pemberian data diri pada pinjaman online membuat nasabah mudah dikejar-kejar tentang utangnya. Debt collector menebar ancaman mulai dari masuk pengadilan, ke penjara, sampai siap dipecat dari pekerjaan. Tak hanya itu, beberapa warganet lain memang menyoroti Fintech pinjaman online yang bisa membaca data-data di ponsel nasabah.

Bahkan, banyak yang menyarankan lebih baik tidak melakukan pinjaman online. Pasalnya, pengajuan pinjaman belum tentu diterima, tetapi data-data nasabah sudah didapatkan. Selain itu, pinjaman online juga dinilai sangat merugikan konsumen. Misalnya, pengajuan pinjaman cuma Rp1 juta sampai Rp2 juta, tetapi sang penyedia pinjaman online bisa mendapatkan seluruh data nasabah yang nilainya bisa lebih
dari itu.

Belakangan, ada yang mengatakan banyak korban yang bunuh diri dan stres karena terlibat dalam peerto-peer (P2P) lending. Salah satu kasus bunuh diri melibatkan seorang pengemudi ojek online yang meninggal karena stres setelah ditagih oleh lembaga penagih utang atas pinjaman online dari perusahaan fintech. Kabar tersebut membuat sejumlah pihak berpendapat bahwa fintech pinjaman online yang
menyebabkan konsumen bunuh diri harus segera ditutup. Pasalnya, tekanan dari debt collector membuat konsumen stres.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat