androidvodic.com

Panas Bumi Berpotensi Jadi Tulang Punggung Energi Nasional, Ini Sejumlah Tantangannya - News

News, JAKARTA - Panas bumi berpotensi menjadi andalan dalam transisi energi dari energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).

Selain potensi sumberdaya yang masih sangat besar, dengan berbagai dukungan kebijakan pemerintah berupa pemberian insentif maupun penetapan tariff yang menarik bagi investor namun juga memaksimalkan kemampuan negara akan bisa mendorong panas bumi sebagai backbone energi nasional.

Baca juga: Kebutuhan Energi Terus Meningkat, Ini Sederet Inovasi BPPT untuk Pengembangan EBT di Indonesia

Hal ini menjadi benang merah dari sharing session bertajuk Urgensi Transisi Energi ke Panas Bumi, Kamis (29/7/2021).

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan Indonesia tergolong lebih agresif dibanding negara lain untuk pengembangan panas bumi. Saat ini kapasitas PLTP nasional mencapai 2.175 MW dan baru ada tambahan dari PLTP Sorik Marapi.

Baca juga: TotalEnergies Rampungkan Instalasi Panel Surya Kedua untuk Chandra Asri Petrochemical

"Ada beberapa tantangan dalam pengembangan panas bumi, yakni terkait lingkungan, dan status kawasan hutan. Tantangan sampai kapanpun akan ada, dinamika masyarakat juga semakin kuat, tapi dengan sinergi berbagai pihak dapat dikelola dengan baik tantangan tersebut,” katanya.

Pemerintah, lanjut dia, akan mendukung pengembangan panas bumi dengan berbagai insentif yang dimungkinkan. Tarif yang yang sekarang sedang disusun pemerintah, khususnya dalam bentuk Peraturan Presiden.

“Kami pastikan balik modalnya cepat, tapi juga memaksimalkan kemampuan negara, sehingga angka tidak stay di angka yang tinggi. Sedang dipikir, saya ingin seperti yang di migas, ada komitmen untuk menambah cadangan,” ungkap Dadan.

Baca juga: Dukung Energi Hijau, Industri Farmasi Pasang Panel Surya Terbesar di Cikarang

Panas bumi dinilai banyak kemiripan dengan migas, sehingga cadangan semakin bertambah. Eksplorasi yang dilakukan pemerintah sedang berjalan, di Nage dan Cisolok.

Ini diharapkan bisa memberikan penyesuaian dari sisi harga. Kalau ini dilakukan pemerintah, kan sampai sekarang tidak ada bank yang mau memberikan pendanaan karena resikonya tinggi.

“Harga panas bumi, saat ini sedang saya lunakkan. Saya akan dorong panas bumi yang layak secara keekonomiannya, sehingga bisa memanfaatkan panas bumi itu sebagai baseload. Keekonomiannya win win dari sisi konsumen dan produsen,” katanya.

Menurut Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Riki F Ibrahim, tantangan pengembangan panas bumi adalah harga EBT yang masih harus bersaing dengan pembangkit fosil, terbatasnya lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dalam fase ksplorasi, banyak pengembangan yang belum memenuhi 5C (charakter, capacity, capital, condition dan collateral, risiko dalam masa eksplorasi sangat tinggi, trasparansi dan jangka waktu penerbitan izin dapat mempengaruhi keenomian proyek.

“Saya sampaikan untuk eksplorasi panas bumi itu risikonya tidak sebesar migas. Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi resiko itu 40 persen, tidak begitu besar,” katanya.

Untuk itu, pengembangan panas bumi harus dilakukan bertahap dan perusahaan yang terjun disana harus yang mempunyai visi dan misi jangka panjang. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) misalnya sudah melakukan 39-40 tahun untuk pengembangan panas bumi melalui PLTP Kamojang.

“Jadi bagaimana caranya agar risiko eksplorasi itu jangan dilihat sebagai jangka pendek. Masih perlu kajian ulang untuk harga panas bumi, agar swasta bisa betul betul masuk ke panas bumi,” kata dia

Riki mengatakan pemerintah sedang dalam keadaan dilema, ingin mengembangkan EBT dengan harga reliable, tapi disisi lain harus memberikan subsidi ke PLN. Untuk itu, pemerintah sedang memikirkan bagaimana jalan keluarnya, seperti ada biaya infrastruktur yang diturunkan dan lainnya.

“Tantangan panas bumi tidak dapat diselesaikan dengan cara cara bussiness as usual, dibutuhkan akselerasi pengembangan panas bumi untuk mengejar target bauran. Target kita bagaimana bisa mencapai tidak hanya 23 persen, tapi 50 persen,” katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat