androidvodic.com

Politisasi Identitas yang Berpotensi Menghasut, Menghina & Mengadu-domba Menjadi Perhatian Bawaslu - News

Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow

News, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terus berupaya melakukan pencegahan untuk memastikan Pemilu 2024 bersifat inklusi dengan tidak meninggalkan satu kelompok.

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty memandang inklusivitas Pemilu 2024 sangat penting dijadikan perhatian semua pihak untuk menekan maraknya politisasi identitas yang bisa melahirkan perpecahan sesama anak bangsa dalam hajatan demokrasi.

Baca juga: Rakernas VI Projo Tampilkan Tari Perang, Budi Arie: Mental Kami Petarung, Siap Hadapi Pemilu

"Politik identitas itu tidak bermasalah, akan tetapi politisasi identitas yang berpotensi menghasut, menghina, mengadu-domba melahirkan kekerasan, itu yang berbahaya dan menjadi perhatian Bawaslu," ujar Lolly dalam keterangannya, Rabu (18/10/2023).

Bawaslu, lanjutnya, menyamakan persepsi dengan mengundang para tokoh agama, aktivis kepemiluan, penggiat kepemiluan untuk merumuskan definisi mengenai politisasi identitas.

Ini penting dilakukan karena acap kali santer terjadi perbedaan definisi serta keterbatasan norma yang mengatur mengenai politisasi identitas.

Dari hasil kajian, dirumuskan politik identitas adalah politik yang mengacu pada kejatidirian, kepribadian, keyakinan, dan atau kebudayaan tertentu.

"Pada situasi tertentu politik identitas maknanya positif. Politisasi identitas kami sepakati definisinya sebagai upaya memanfaatkan politik identitas untuk kepentingan politik tertentu yang berpotensi menghina, menghasut, dan memecah belah anak bangsa," tuturnya.

Baca juga: Bawaslu Akan Lakukan Pengawasan Melekat Khusus Saat Masa Pendaftaran Capres dan Cawapres di KPU RI

"Kenapa stretching-nya menghina, menghasut, mengadu domba, memecah belah? Karena memang secara norma itu yang ada dalam Pasal 280 UU No. 7 Tahun 2017," sambungya.

Selain itu, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu ini menambahkan ihwal pihaknya telah merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 dengan isu strategis Politisasi SARA.

Lolly menjelaskan, dilihat dari insiden politisasi dan kekerasan SARA, hasil survey yang dilakukan Bawaslu berdasarkan kejadian riil Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 itu menunjukkan kekerasan berbasis SARA angkanya paling besar.

Setelah itu angka soal kampanye bermuatan SARA di tempat umum, disusul kampanye bermuatan SARA di medsos.

"Isu SARA yang paling dominan ternyata berkenaan dengan etnis dan agama. Dalam konteks ini maka perlu strategi yang tepat untuk melakukan edukasi dan transformasi. Sementara Enam provinsi paling rawan isu politisasi SARA hasil IKP Bawaslu pertama yakni DKI Jakarta, Maluku, Papua Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat," urainya.

Lebih lanjut, Lolly mengatakan berbagai program pencegahan telah dilakukan Bawaslu seperti kampanye pengawasan partisipatif yang melibatkan 24 ribuan lebih kader Sekolah Pengawas Partisipatif (SKPP) dan Pendidikan Pengawasan Partisipatif (P2P), pemberdayaan kampung pengawasan partisipatif, menggandeng media massa.

Dia juga akan mendorong puluhan ribu kader pengawas partisipatif untuk menjadi konten kreator dengan mengkampanyekan anti-politisasi identitas.

Lolly berharap, kampanye tersebut akan mampu melawan disinformasi atau berita bohong yang biasanya menjadi pemantik terjadinya politisasi identitas.

"Kita juga bangun partisipasi masyarakat melalui pemantau pemilu, kampung pengawasan partisipatif seperti desa anti-politik uang di Bantul yang sangat menarik. Jadi di sana sudah ada pergantian kades tapi sistem untuk antipolitik uangnya hidup. Maka kami cek ternyata inisiatifnya (anti-politik uang) sudah tumbuh dari bawah. Dengan jurnalis juga kami gandeng karena media harus punya konsentrasi yang sama memastikan politisasi identitas bisa ditekan pada Pemilu 2024," pungkasnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat