androidvodic.com

10 Catatan Komnas Perempuan Soal KUHP Baru - News

Laporan Wartawan News, Ashri Fadilla

News, JAKARTA - Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang menuai pro-kontra.

Bebagai pihak pun memberi catatan terkait pengesahan Rancangan KUHP menjadu Undang-Undang, termasuk Komnas Perempuan.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan masih ada sejumlah ketentutan bermasalah yang berkaitan dengan upaya penanganan kekerasan seksual, penghapusan diskriminasi berbasis gender, dan pemenuhan hak-hak dasar.

"Kondisi ini menempatkan KUHP berpotensi overkriminalisasi, melanggar hak-hak perempuan dan kebebasan hak sipil lainnya, termasuk dalam hal pembelaan hak," ujar Andy Yentriyani dalam keterangan resmi pada Jumat (9/12/2022).

Baca juga: PBB Komentari KUHP Baru, Legislator Golkar: Indonesia Harus Tegas!

Setidaknya terdapat 10 hal yang menjadi sorotan Komnas Perempuan terkait disahkannya RKUHP jadi UU KUHP.

Pertama, masih ditempatkannya tindak pidana pencabulan sebagai tindak pidana kesusilaan.

Di dalam KUHP yang baru disahkan, bagian kelima dari Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan tentang pencabulan mengatur larangan perbuatan cabul secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap seseorang dalam keadaan pingsan, atau tidak berdaya termasuk kondisi disabilitas, yang diketahui atau patut diduga anak.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa tindak pidana pencabulan serupa lebih tepat ditempatkan sebagai Tindak Pidana terhadap Tubuh karena sarat muatan kekerasan seksual.

Baca juga: Langgar Kebebasan Pers, PBB Sebut KUHP Baru Bertentangan dengan HAM

"Apalagi ada pasal khusus yang menyatakan bahwa semua tindakan pencabulan dan tindakan memudahkan pencabulan merupakan tindak pidana kekerasan seksual," kata Andy.

Kedua, tidak tersedianya pasal penghubung dengan Undang-Undang TPKS antara tindak melarikan anak dan perempuan untuk tujuan penguasaan dalam perkawinan.

Ketiga, berkurangnya daya perlindungan hukum pada tindak eksploitasi seksual.

Dalam pasal 172, Andy menilai bahwa KUHP tidak melakukan koeksi pada penggunaan istilah eksploitasi seksual ini terkait tindak pornografi.

"Karena tetap merujuk pada Undang-Undang Pornografi," katanya.

Baca juga: PBB Indonesia: KUHP Baru Bertentangan dengan HAM

Keempat, diabaikannya hak korban kekerasan seksual akibat tidak adanya rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan aborsi.

Sebagaimana diketahui, tindak pemaksaan pelacuran disebutkan dalam Pasal 4 Ayat 2 huruf f dalam UU TPKS sebagai tindak kekerasan seksual yang diatur dalam UU lain, tetapi perlu merujuk pada UU TPKS sebagai lex specialis dalam penanganannya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat