androidvodic.com

Perlunya Sinergi Pemerintah dan Warga dalam Menjaga Keanekaragaman Hayati Berkelanjutan - News

Laporan Wartawan News, Eko Sutriyanto 

News, JAKARTA - Yayasan Pesisir Lestari dan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) sepakat mengajak publik dan para pengambil kebijakan memberikan ruang yang lebih luas pada pendekatan konservasi yang berbasis HAM, mengusung semangat kolaborasi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan lokal termasuk di wilayah pesisir.

Pendekatan ini tidak terlepas dari komitmen Indonesia mendukung implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dalam COP-15 Convention on Biological Biodiversity yang diadakan Desember 2022.

Baca juga: BSKDN Kemendagri Minta Pemda Tingkatkan Pengelolaan Lembaga Konservasi Lewat Kebijakan Berbasis Data

Di Indonesia nelayan skala kecil merupakan penyumbang 60 persen dari total produksi perikanan nasional dan lebih dari 50% konsumsi protein kita berasal dari makanan laut.

Dalam konteks konservasi, masyarakat adalah entitas yang paling dekat dengan wilayah konservasi dan memiliki peran sentral untuk berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola kawasan secara efektif.

Rayhan Dudayev, Manager Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari mengatakan, dengan konsep konservasi kolaboratif, secara paralel tidak hanya melindungi ekosistem pesisir secara inklusif dan berkelanjutan tapi sekaligus pula menjaga ketahanan pangan bagi nelayan kecil dan kita semua.

“Konsep pengelolaan konservasi kolaboratif memiliki tujuan yang sejalan dengan konsep yang dijalankan pemerintah nasional dan daerah yaitu untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya yang berkelanjutan, yang menjadi pembedanya adalah pelibatan para pihak secara setara untuk melakukan, saling menguatkan dan mendukung pengelolaan konservasi," kata Rayhan dalam keterangannya, Senin (22/5/2023).

Berbagai praktik pengelolaan telah secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat di nusantara.

Baca juga: RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?

Ia mencontohkan praktik Parimpari yang merupakan model pengelolaan dan konservasi berbasis adat yang dilakukan dengan menutup suatu wilayah tertentu dan/atau melarang penangkapan spesies ikan dan/atau tanaman dalam kurun waktu yang ditentukan melalui musyawarah adat.

Di Maluku dan Papua, praktik dengan model pengelolaan yang sama biasa disebut sebagai Sasi.

Dalam kesempatan ini, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) kembali menyoroti pentingnya untuk melakukan penyempurnaan pada Draft Rancangan Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).

Terutama terkait dengan kesepakatan Kunming-Montreal Biodiversity Framework yang telah membawa intensi yang baik dalam melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumberdaya, dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas tersebut.

Cindy Julianty, Program Manager WGII mengatakan, untuk mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati, tentu pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan kolaborasi dan perubahan pendekatan terhadap tata kelola keanekaragaman hayati di Indonesia.

RUU KSDAHE yang diusulkan DPR RI dapat menjadi peluang, namun dibutuhkan penyempurnaan misalnya terkait dengan partisipasi yang bermakna, pengakuan hak-hak masyarakat dan praktik konservasinya (ICCAs) yang seharusnya lebih mudah dan berbiaya murah, penerapan prinsip PADIATAPA dalam penetapan kawasan konservasi dan akses terhadap pengetahuan tradisional, hal ini sejalan dengan beberapa target yang dimandatkan KM-GBF. Faktanya masyarakat adat dan lokal sudah mempraktikkan konservasi sebelum adanya UU No.5 Tahun 1990”

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat