androidvodic.com

Petani Sawit Minta Pemerintah Tak Ganggu Lahan Bersertifikat HGU - News

News, JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Rakyat meminta agar pemerintah bersikap bijak, dan jangan membuat aturan yang justru mengebiri hak-hak rakyat atas lahan yang sudah punya sertifikat hak guna usaha (HGU).

Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat, Setiyono, menyikapi problematika yang dihadapi rakyat lantaran banyak tanah perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah bersertifikat HGU kemudian dikalim masuk dalam kawasan (hutan).

"Apalagi masalah tanah yang sudah bersertifikat dan hak milik kami, lha kok tau-tau kawasan masuk ke kebun kami, bukan kebun kami masuk ke kawasan," ujar Setiyono dalam sebuah diskusi di kanal youtube Kompas.TV dikutip, Kamis (26/10/2023).

Setiyono menuturkan pada awalnya rakyat pemilik sertifikat tanah perkebunan kelapa sawit itu hidup tenang dan damai selama puluhan tahun.

Baru kemudian dalam suatu waktu ada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masalah baru muncul.

Tanah rakyat dengan sertifikat HGU tiba-tiba dikatakan masuk kawasan (hutan/hutan lindung).

Menurutnya kemunculan klaim ini justru menunjukkan adanya problem ketidaksinkronan di dalam instansi pemerintah.

"Padahal kan sertifikat itu program BPN. Lha kok tau-tau ada diklaim dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bahwa itu masuk kawasan. Jadi antar pemerintah saja tidak sinkron. Ini membuat kami resah sebagai petani," tandas Setiyono.

Ia juga menuturkan bahwa tanah perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat di Riau juga bukan didapat secara gratis.

Dahulu sekitar 30 tahun silam, jelas Setiyono, mereka transmigrasi disediakan oleh pemerintah sandang, pangan, dan papan.

"Dulu kami dibangun sawit juga enggak gratis. Pemerintah membantu sandang, pangan, dan rumah. Lalu dibuat kredit ke kami sehinga kami nyicil juga," jelasnya.

Adapun terkait isu lingkungan hidup, petani dan para pelaku usaha memiliki posisi yang jelas dan selalu mendukung.

Namun dengan syarat batas-batasnya harus jelas dan terukur, agar petani tidak lagi menjadi kambing hitam atas persoalan lingkungan.

“Kalau batasnya nggak jelas selalu kami jadi kambing hitam, karena batasnya seharusnya jelas. Kalau itu ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan produksi, kalau itu batasnya jelas petani semua tidak akan berani ganggu,” tutur Setiyono.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat