androidvodic.com

Bagi Nadliyyin-NU, Cak Imin Capres 2024 adalah Harga Mati - News

Bagi Nadliyyin-NU, Cak Imin Capres 2024 adalah Harga Mati

*Oleh KH. Imam Jazuli Lc., MA

News - Dukungan untuk Ketum PKB Muhaimin Iskandar maju sebagai Capres di Pilpres 2024 terus berdatangan. Kali ini disampaikan terang-terangan oleh Romo Kiai Haji Ahmad Fuad Nur Hasan, Pengasuh Pesantren Sidogiri bersama 99 Kiai Sepuh dan Pengasuh Pesantren Utama se-Jawa Timur di Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo, 23 Februari 2023 kemarin.

Pernyataan ini jelas bersebrangan dengan anjuran dari struktural PBNU, khususnya dari Gus Yahya yang ingin mengambil jarak dan netral dalam pilihan politik. Pertanyaannya, mengapa PBNU hendak mengabaikan PKB, dengan alibi bahwa ormas NU tidak boleh menjadi mesin partai politik? Padahal hampir semua Kiai Sepuh dan umat Nahdiyyin mendukung PKB dan Cak Imin.

Tentu saja jawabannya tidak bisa sederhana. Tetapi secara kasat mata, Ketum PBNU tampaknya kurang begitu suka apabila ada kader Nahdliyyin yang maju menjadi Presiden, dan lebih memilih kader "naturalisasi" untuk maju menjadi Cawapres.

Padahal yang disadari oleh para Kiai Sepuh tersebut, bahwa jamaah Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) sangat besar dan mayoritas di Negeri ini, dan jika solid berpotensi menjadi pemenang pemilu bahkan paling rasional menjadikan kadernya sebagai Presiden. Data survei 2021 menunjukkan 95 juta warga Indonesia anggota NU. Melesat jauh dibanding 2013 yang masih 55 juta jiwa. Angka besar ini menjadikan NU sebagai Organisasi Islam terbesar di dunia.

Per-31 Januari 2023, jumlah penduduk Indonesia mencapai 273,52 juta jiwa. Sedangkan jumlah umat muslim Indonesia ada sekitar 231 juta jiwa. Dari 231 juta jiwa itu, Gus Yahya (Ketum PBNU) mengatakan, ada 59,2 persen adalah warga NU pada tahun 2022. Jadi, warga NU 136,7 juta jiwa, melesat jauh dari 95 juta tahun 2021.

Sementara partai-partai besar seperti PDIP, Gerindra, Golkar, atau lainnya terus mencari cara agar mendapat suara dari basis massa Nahdliyyin, tetapi sepertinya mustahil menyerahkan kepemimpinan kepada kader Nahdliyyin, khususnya kader yang mau maju sebagai Presiden RI.

Dalam konteks ini, kader Nahdliyyin akan selamanya tenggelam di bawah bendera partai lain. Tetapi, nasib pahit itu tidak akan terjadi di PKB, yang akan memilih Cak Imin sebagai Kader terbaik Nahldiyyin. Karena bagaimanapun, Cak Imin merupakan representasi NU dan PKB. Dimana hubungan antara PKB dengan NU tidak bisa dipisahkan, baik secata historis maupun empiris.

Logika itu dibangun, sebab PKB lahir dari rahim NU dan telah nyata selama ini menjadi alat politik warga NU. Logika lain yang mesti dibangun dan disadari oleh Nahdliyin adalah PKB itu adalah anak NU maka parpol lain hanya ibarat tetangga, bahkan ada yang tetangga jauh.

Jadi sudah sewajarnya perlakuan PBNU terhadap PKB tidak bisa disamakan dengan parpol lain. Terlebih, Ketum PKB ini merupakan kader terbaik yang juga cicit salah satu pendiri NU, KH. Bisri Syamsuri.

Maka, kita semua pun curiga, setelah pertimbangan rasional tidak masuk akal, apakah pilihan Ketum PBNU untuk menjauhkan suara Nahdliyyin dari PKB adalah pertimbangan emosional? Ketika jumlah besar anggota NU tidak diiringi oleh keinginan untuk memimpin negara, apakah ini adalah bentuk mental yang inlander, Inferior dan tidak percaya diri?

Sebut saja visi NU ke depan adalah untuk mengurusi peradaban dunia dan menciptakan tatanan baru. Pertanyaannya, apakah penting mengurusi dunia, sementara negara sendiri belum diurusi? Apa mungkin memimpin dunia, sementara memimpin negara sendiri tidak mampu dan dihantui rasa pesimis dan kekhawatiran tidak mampu menjadi presiden?

Tampaknya, visi NU membangun tatanan dunia baru di bawah kepemimpinan Gus Yahya adalah bentuk alienasi diri dari realitas. NU ciut lebih awal untuk mengutus kadernya sendiri maju sebagai presiden, dan memilih berlindung di bawah bendera partai lain di luar partainya sendiri. Ini adalah bentuk alienasi.

Ketum PBNU kini membawa Nahdliyyin terasing dari kehidupan konkrit politik nasional, kemudian menggiring Nahdliyyin pada abstraksi dunia global yang absurd. Mereka sedang membangun imajinasi bisa memimpin perubahan tatanan baru dunia, sementara belum mampu mengubah mental Nahdliyyin menjadi pemimpin negaranya sendiri.

Maka, tidak bisa tidak, sudah saatnya Nahdliyyin bangkit dari keterpurukan di berbagai bidang, dan nahdhoh (kebangkitan) yang dijadikan nama NU/PKB harus menjadi spirit kita (Nahdliyyin) untuk betul- merealisasikan makna kebangkitan dalam gerakan keumatan.

Tidak ada manfaatnya kita (Nahdkiyyin) bertengkar, saatnya kita merapatkan barisan, menyatukan langkah demi misi besar kebangkitan, dan melupakan dulu ego-ego pribadi maupun sektoral kita untuk melebur diri dalam satu hempasan nafas kebangkitan politik Nahdiyyin, sebagai titik tolak kebangkitan di berbagai bidang, sehingga peran aktif mengubah arah bangsa ini terwujud dan kita adalah subyeknya. Wallahu a’lam bis shawab.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat