androidvodic.com

Teknologi Terbaru Terus Dikembangkan untuk Mengendalikan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia - News

Laporan Wartawan News, Dennis Destryawan

News, JAKARTA -- Teknologi terbaru terus dikembangkan untuk mendukung pemantauan dan pengendalian emisi di Indonesia. Data yang diperoleh dari teknologi tersebut dikumpulkan menjadi dasar untuk mengatasi masalah polusi udara.

Pada tahun 2020, emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari beberapa sektor. Sektor energi menyumbang 44 persen emisi, diikuti oleh penggunaan lahan/hutan (34%), sektor pertanian (10%), sampah (9,4%), dan proses industri (2,3%).

"Di ACSI Corp, bersama dengan seluruh anak usaha, kami terus mengembangkan teknologi terbaru yang mendukung pemantauan dan pengendalian emisi. Data yang kami kumpulkan akan menjadi dasar untuk mengatasi masalah polusi udara," ujar Presiden Direktur & Founder ACSI Corp Jaja Ahmad Subarja di Jakarta, Sabtu (15/6/2024).

Menurut Jaja, idealnya teknologi yang dapat membantu mempercepat pencapaian target pemerintah adalah yang produksinya bersih dan tidak menghasilkan emisi. Sebagai contoh, penggunaan teknologi yang efisien dan berbahan bakar non fossil atau EBT (energi baru terbarukan).

Baca juga: Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan Sepakati Kerja Sama Penurunan Emisi Karbon

Ada juga yang disebut dengan konsep CCS (Carbon Capture Storage) yang dapat membantu untuk mengelola emisi yang terjadi akibat proses produksi. Yakni proses menangkap dan menyimpan emisi karbon dioksida (CO2) sebelum masuk ke atmosfer Bumi.

"Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan mencegah jumlah besar emisi gas rumah kaca berkontribusi pada pemanasan global dan gangguan lingkungan," kata Jaja.

Proses CCS melibatkan mengumpulkan CO2 yang berasal dari operasi industri, pembangkit listrik, dan sumber lainnya, lalu mengangkutnya ke lokasi penyimpanan, biasanya di bawah tanah, di mana CO2 disimpan secara permanen. Kekurangannya adalah implementasi konsep membutuhkan biaya yang besar, 1 fasilitas CCS bisa memakan biaya hingga 2 Triliun rupiah.

Dari sisi lain, dikenal konsep FOLU Net Sink yang merupakan kondisi di mana sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak emisi karbon ketimbang yang dikeluarkan. Konsep ini juga sudah menjadi program pemerintah Indonesia, dalam program ini, sektor Forest and Other Land Use (FOLU) menjadi sektor andalan dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan informasi yang dibagikan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup diproyeksikan bahwa sektor FOLU akan berkontribusi hampir 60% dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin diraih oleh Indonesia melalui upaya sendiri

Jaja menambahkan, bahwa teknologi juga dapat membantu mengatasi perubahan iklim. Di mana perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam pola cuaca global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Tiga GRK utama adalah, karbon dioksida, nitrous oksida, dan metana. Dengan memahami penyebab utama perubahan iklim ini, kata Jaja, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi emisi GRK.

Selain itu, menurut Jaja, implementasi Kecerdasan Buatan (AI) memiliki peran penting dalam mengatasi tantangan perubahan iklim. Antara lain dengan menggunakan teknologi AI dalam memonitoring dan melakukan pemetaan emisi gas rumah kaca (GRK).

"Dengan menggunakan pencitraan satelit dan analisis data, AI mampu menganalisis data dari satelit untuk memantau perubahan lahan, deforestasi, dan aktivitas industri," ujar Jaja.

Penggabungan data citra satelit dengan algoritma AI memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang tren emisi GRK dari waktu ke waktu. Selain itu, AI juga berfungsi dalam prediksi dan proyeksi, di mana AI dapat memproyeksikan kecenderungan emisi GRK di masa depan berdasarkan data historis.

"Hal ini membantu pemerintah dan sektor swasta dalam mengatur target penurunan emisi yang realistis," tambahnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat