androidvodic.com

Kontroversi RUU Penyiaran, IJTI Khawatir “Pengebirian Pers” - News

Rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan kepada DW Indonesia mengatakan, ia mengkhawatirkan adanya upaya memberangus kemerdekaan pers, bila pasal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi diloloskan.

"Ini yang namanya pengebirian pers. Dengan regulasi ini, kita (jurnalis) tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa investigasi, tidak bisa melakukan jurnalisme ekslusif. Misalnya, ada kasus korupsi, itu kan kita harusnya bisa meliput ekslusif,” ucap Herik.

Apa yang bermasalah dari RUU Penyiaran?

RUU Penyiaran memasukkan pasal kontroversial soal larangan media melakukan peliputan investigasi. Sejumlah pihak melayangkan kritik keras terutama pada pasal ini, karena dianggap sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU 40 Pasal 4.

Dewan Pers mengatakan dengan adanya UU itu, maka Indonesia sudah tidak mengenal lagi adanya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas.

"Begitu demokrasi "ditebas”, maka ini menjadi sebuah kemunduran. Kita masuk ke masa kegelapan lagi. Padahal saat ini para jurnalis juga sedang dihadapkan dengan tantangan kehadiran informasi-informasi yang katakanlah disebar oleh warganet ke media massa," ujar Herik, seraya menambahkan bahwa negara tidak seharusnya takut terhadap kerja jurnalistik.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Apa pasal kontroversial lainnya di RUU Penyiaran?

RUU ini juga memuat pasal lain yang kontroversial soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Sebelumnya, Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik, tetapi dalam RUU ini, penyelesaian sengketa justru akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Penyelesaian sengketa jurnalistik justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam Undang-undang. Oleh karena itu, penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," kata Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, dalam konferensi persnya pada Selasa (14/05).

Selama ini, KPI mempunyai wewenang dalam menangani pelanggaran yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), misalnya saat ada kasus tayangan yang memuat gambar orang merokok, hingga gambar anak-anak yang perlu diblur. Sedangkan, sengketa jurnalistik merupakan ranah kerja Dewan Pers.

Jika RUU kontroversial ini diloloskan, maka ranah kewenangan Dewan Pers dan KPI akan tumpang tindih dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.

DPR membantah adanya pembungkaman pers

Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin menyatakan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.

"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata Nurul Arifin yang juga sebagai Anggota Panja dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024), seperti dilansir dari Detik.

Menurutnya, Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. Hal itu karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI dan beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, bukan produk final.

Bagaimana peringkat kebebasan pers Indonesia?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat