androidvodic.com

'Saat diperpanjang hingga 2041, pemilik ulayat tak dilibatkan, sekarang ditambah lagi hingga 2061' - Pemerintah Indonesia dinilai terburu-buru memperpanjang kontrak Freeport - News

Keputusan pemerintah Indonesia memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport hingga 2061 dikritik sejumlah kalangan.

Seorang pakar energi menganggap perpanjangan kontrak Freeport itu tidak memiliki alasan yang mendesak.

Ada tuduhan pula dari pimpinan masyarakat adat, pegiat lingkungan, serta tokoh agama di Timika, Papua, bahwa proses perpanjangan izin usaha Freeport itu tidak melibatkan orang-orang asli Papua.

Menanggapi tuduhan itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia mengatakan, pihaknya sudah "melibatkan seluruh pemangku kepentingan".

"Tentunya dalam proses ini kami melibatkan seluruh pemangku kepentingan," kata EVP External Affairs PTFI, Agung Laksamana, Senin (03/06) pagi.

Agung tidak merinci jawabannya. Sebelumnya, dilansir dari situs PTFI, perusahaan itu mengaku menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun keuntungan bersih daerah pada 2023.

Dalam situs resmi PTFI disebutkan uang itu diberikan kepada Pemprov Papua Tengah sebesar Rp839 miliar, Pemkab Mimika Rp1,4 triliun, dan beberapa kabupaten lainnya masing-masing Rp160 miliar.

Dihubungi secara terpisah oleh BBC News Indonesia, Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua Tengah, Frets Boray, menolak mengomentari tentang perpanjangan kontrak Freeport itu karena merupakan kebijakan pemerintah pusat.

'Janji kepada orang adat yang dinantikan secara turun-temurun'

Nelson Naktime adalah generasi ketiga dari pemegang hak ulayat di wilayah hutan dan pegunungan yang kini menjadi wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Seperti leluhurnya, dia lahir di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.

Rumah orang tua Nelson berjarak kurang dari 500 meter dari Kali Kabur. Di sungai ini, sisa hasil operasional Freeport mengalir sehingga mengundang para pendulang emas dari Papua maupun luar Papua.

Nelson ingat cerita yang disampaikan turun-temurun di keluarga besarnya: leluhurnya yang bernama Tuarek Naktime adalah satu dari sejumlah perwakilan pemilik hak ulayat yang menandatangani perjanjian dengan pimpinan Freeport pada dekade 1960-an.

Tuarek, kata Nelson, saat itu bersedia membubuhkan tandatangannya di atas kertas perjanjian dengan Freeport asalkan perusahaan itu menyekolahkan seluruh keturunannya hingga ke luar Indonesia dan menerima mereka menjadi pekerja di pertambangan itu.

Nelson tidak menerima realisasi perjanjian yang dibuat leluhurnya tersebut. Namun sebagian saudaranya telah bekerja di Freeport, bahkan menjadi salah satu pimpinan di perusahaan itu, yaitu Silas Naktime.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat