androidvodic.com

MK Batalkan Pasal Penyebaran Berita Bohong, Syahganda Akan Gugat Presiden - News

News, JAKARTA- Aktivis prodemokrasi, Syahganda Nainggolan mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan pasal 14 dan 15 UU Peraturan Hukum Pidana 1946 bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Kedua pasal terkait larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya Syahganda berencana melakukan langkah perdata menggugat Presiden Jokowi atas pemenjaraan dirinya, Jumhur Hidayat dan Anton Permana beberapa tahun lalu, terkait kritik Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atas UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Menurutnya, dia sudah berkoordinasi dengan Jumhur Hidayat, yang juga masih menunggu hasil keputusan Mahkamah Agung atas tuduhan yang ditersangkakan sebagai pembuat onar yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Baca juga: Terkait Protes Etika Kaum Professor, Syahganda Nainggolan Sarankan Gibran Mundur

Syahganda, dan Jumhur di penjara di tahanan Bareskrim Mabes Polri selama masing-masing 10 bulan dan 7 bulan antara tahun 2020 dan 2021 lalu, dengan menggunakan UU Hukum Pidana 1946 tersebut.

Syahganda berencana menggugat Presiden Jokowi secara perdata sebesar Rp1 triliun.

"Keputusan MK tersebut menunjukkan bahwa benar Jokowi selama ini telah memberangus pihak oposisi secara asal-asalan," ujar Syahganda, Jumat (22/3/2024).

Berbagai ahli hukum tata negara sebelumnya juga sudah menyatakan bahwa UU Hukum Pidana No 1 Tahun 1946 memang tidak pantas digunakan untuk membungkam masyarakat kritis, karena merupakan warisan kolonial Belanda.

Dengan alasan itu dan hilangnya kemerdekaan hidup korban karena penjara, menurut Syahganda dia pantas menggugat perdata Jokowi atau pemerintahannya.

Diajukan Haris Azhar

Para Pemohon perkara ini, yaitu Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam persidangan di ruang Sidang Pleno Gedung MK RI, Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Mahkamah menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 tidak dapat diterima.

Lalu, MK menyatakan Pasal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan, MK berpendapat, Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 telah kehilangan objek karena pada 2 Januari 2024, Presiden telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

"Oleh karena itu, sebagian materi norma dalam UU 11/2008 dan UU 19/2016 telah mengalami perubahan dan sebagian norma dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk perubahan terhadap pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para pemohon," kata Hakim Konstitusi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat